
Sketsa kehidupan manusia yang merupakan makhluk
sosial memang memfitrahkan adanya pimpinan dan yang dipimpin. Juga
menggariskan bahwa kepemimpinan adalah sesuatu yang mesti ada dalam
setiap tatanan keluarga, masyarakat atau batas wilayah tertentu. Sebab
itu, saya, anda dan semua umat manusia tak akan berbeda pandangan dalam
keabsahan statemen ini. Akan tetapi problem yang sanggup membuat adanya
perbedaan persepsi adalah “kriteria kepemimpinan” itu sendiri.
Dalam kondisi “krisis kepemimpinan” seperti saat ini,
kita sebagai umat pilihan, yang dianugrahkan Allah ta’ala dengan ajaran
islam yang sempurna, dan universal, seharusnya tak perlu bingung
apalagi berbeda dalam hal penentuan karakter dan kriteria pemimpin yang
didambakan. Sebab islam telah menggariskannya secara gamblang lewat
wahyu Al-Quran maupun Sabda dan Amalan Rasulullah shallallahu’alaihi
wasallam.
Diantara kriteria pertama dan utama yang mesti
dibenahi terlebih dahulu adalah perkara keshalihan dan mushlih-nya
seorang pemimpin. Shalih dalam artian menjalankan kewajiban dan ketaatan
sebagai seorang muslim atau dalam istilah yang lebih umum disebut juga
bersifat taqwa. Keshalihan ini tidak hanya nampak dari segi ibadahnya ,
namun juga dari segi muamalah, dan akhlak yang baik terhadap sesama dan
rakyat yang dipimpinnya. Perilaku kepemimpinan seperti inilah yang
disebut sebagai sikap keteladanan. Dalam islam, keteladanan ini
merupakan harga mati yang tak bisa diremehkan oleh setiap pemimpin..
Islam mengajarkan bahwa keteladanan tak akan mungkin diraih tanpa adanya
sifat shalih yang terpatri dalam jiwa seorang pemimpin. Sebab itu yang
paling pantas menjadi qudwah/teladan utama adalah pemimpin yang paling
shalih yaitu Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam sebagaimana
sanjungan Allah ta’ala atas beliau :
لَّقَدۡ
كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ
يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا ٢١
Artinya : “Sesungguhnya telah ada pada (diri)
Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang
mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak
menyebut Allah” (QS Al-Ahzab 21).
Ayat ini tidak hanya berisi sanjungan, namun juga
perintah untuk selalu meneladani Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam
yang mana beliau memiliki kepribadian qur-ani sebagaimana yang dikatakan
Aisyah radhiyallahu’anha. Allah ta’ala juga telah menyanjungnya :
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٖ ٤
Artinya : “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (QS Al-Qalam 4).
Sangat penting bagi seorang pemimpin untuk meneladani
kepemimpinan beliau yaitu menjadi sosok teladan dalam segala perbuatan
dan ucapannya dihadapan Allah dan manusia. Hal inilah yang dicontohi
oleh para khulafa’ rasyidin sepeninggal beliau, sehingga tidak aneh jika
sejak sebelum wafat Rasulullah telah mewanti-wanti umatnya untuk
berpegang teguh dengan sunnah para khulafa’ rasyidin sebagaimana dalam
sabdanya :
عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي
Artinya: “Berpegangteguhlah dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ rasyidin yang diberi petunjuk sepeninggalku…”. (HR Abu Daud dan Tirmidzi, hasan shahih).
Oleh karena itu, sifat teladan ini wajib ada dalam
diri seorang pemimpin. Agar masyarakat atau orang-orang bawahannya bisa
meneladaninya dengan baik. Ini bisa tergambarkan dalam sosok pemimpin
berikut :
Bersifat sebagai seorang murabbi (pembina)
Sifat inilah yang dipraktekkan oleh Rasulullah dan
para khalifah setelahnya. Tidak hanya menjadi sosok yang disegani dengan
perintah dan kewibawaannya, namun juga dihargai sebagai sosok pembina
dan pendidik yang mengajarkan bawahan dan rakyat yang dipimpinnya akan
nilai-nilai keimanan, ibadah dan akhlak yang baik. Ini bukan berarti
bahwa seorang pemimpin harus berasal dari kalangan ulama, namun sekedar
mengisyaratkan bahwa seorang pemimpin teladan tidak pantas jahil dan
bersikap masa bodoh dengan ajaran-ajaran pokok islam.
Bersikap sederhana dan rendah hati
Artinya tidak menjadikan jabatannya sebagai batu
loncatan untuk bermewah-mewahan dan menyombongkan diri, apalagi
memperkaya diri lewat korupsi dan penyelewengan kekuasaannya. Tetap
kalem dan ceria dihadapan rakyat dan yang dipimpinnya, serta selalu
menanamkan prinsip bahwa keutamaan dan ketinggian derajat hakiki manusia
ditentukan oleh takwa dan imannya, bukan jabatan dan pangkat.
إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ ١٣
Artinya : “Sesungguhnya orang yang paling
mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara
kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS Al-Hujurat 13).
Bersikap jujur, amanah, dan adil
Ia adalah kewajiban utama seorang pemimpin. Jika ia
benar-benar mengaplikasikan sifat-sfat mulia ini, maka yang dipimpinnya
tentu akan meneladani dan mengikuti sikapnya, sehingga kesejahteraan
yang didambakan akan tercapai dengan mudah. Mereka yang adil,
jujur dan amanah inilah salah satu dari tujuh golongan yang akan
diberikan naungan oleh Allah diakhirat kelak, dimana saat itu tidak ada
naungan selain naungan-Nya sebagaimana dalam hadis populer muttafaq
‘alaihi.
Adanya sinergi antara ucapan dan perbuatan
Pada dasarnya pemimpin yang teladan adalah yang
berhasil menanamkan prinsip keberhasilan dalam diri pribadinya sendiri
yaitu men-sinergi-kan antara ucapan, janji dengan perbuatan dan tindak
tanduknya, tidak menjadi sosok munafiq yang hanya bermanis kata. Allah
ta’ala berfirman :
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفۡعَلُونَ ٢ كَبُرَ مَقۡتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُواْ مَا لَا تَفۡعَلُونَ ٣
Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman,
kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan. Amat besar
kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu
kerjakan”. (QS Ash-Shaf 2-3).
Selain itu, ia juga harus mampu menyeru orang-orang
yang dipimpinnya lewat amalan dan kinerjanya. Inilah idealnya seorang
pemimpin, yang tidak hanya mengeluarkan keputusan dan perintah, namun
juga tetap terjun kelapangan demi memberikan sumbangsih lebih kepada
yang dipimpinnya lewat amalan tangannya sendiri.
Taqwa, Shalih dan mushlih
Tidak cukup untuk menjadikan seseorang sebagai
pemimpin teladan yang sukses dan ideal jika sifat shalih atau taqwa yang
ada dalam dirinya tidak dibarengi dengan sifat seorang mushlih yaitu
yang turut andil dalam melakukan ishlah / perbaikan ditengah-tengah
masyarakat baik dengan cara berdakwah, menegakkan amar ma’ruf nahyi
munkar, ataupun sebagai donatur / turut mengorbankan hartanya untuk
kepentingan dakwah islam. Seorang pemimpin yang shalih dan mushlih ini,
tentu tidak akan menyalahgunakan jabatan yang dipikulkan padanya, karena
tujuan utamanya menjadi pemimpin adalah demi memperbaiki dan mengatur
kehidupan masyarakat dengan penuh keikhlasan. Berbeda dengan mereka yang
hanya menjadikan jabatan ini sebagai aset penting untuk meraih berbagai
macam keuntungan duniawi semata sebagaimana perihal
banyak calon pemimpin yang berlomba-lomba mengejar jabatan, berebut
kedudukan sehingga menjadikannya sebagai sebuah obsesi hidup. Menurut
mereka yang menganut prinsip ini, hidup ini tidak lengkap rasanya, kalau
tidak pernah memegang jabatan, menjadi orang penting, dihormati dan
dihargai masyarakat.
Demikian, semoga dari umat ini akan keluar para
pemimpin teladan yang shalih-mushlih, dan mukhlis dalam menegakkan agama
Allah ta’ala diatas bumi ini, amin.
Oleh Ustadz Maulana La Eda(Mahasiswa Pascasarjana (s-2) Jurusan Ilmu Hadis Universitas Islam Madina)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar