{#000000 url(http://petir-project.googlecode.com /files/petir.gif) repeat center fixed; }expr:class='"" + data:blog.mobileClass'>

M.A PRASETYANZ

Selasa, 18 November 2014

Pemimpin Sebagai Teladan


url
Sketsa kehidupan manusia yang merupakan makhluk sosial memang memfitrahkan adanya pimpinan dan yang dipimpin. Juga menggariskan bahwa kepemimpinan adalah sesuatu yang mesti ada dalam setiap tatanan keluarga, masyarakat atau batas wilayah tertentu. Sebab itu, saya, anda dan semua umat manusia tak akan berbeda pandangan dalam keabsahan statemen ini. Akan tetapi problem yang sanggup membuat adanya perbedaan persepsi adalah “kriteria kepemimpinan” itu sendiri.
Dalam kondisi “krisis kepemimpinan” seperti saat ini, kita sebagai umat pilihan, yang dianugrahkan Allah ta’ala dengan ajaran islam yang sempurna, dan universal, seharusnya tak perlu bingung apalagi berbeda dalam hal penentuan karakter dan kriteria pemimpin yang didambakan. Sebab islam telah menggariskannya secara gamblang lewat wahyu Al-Quran maupun Sabda dan Amalan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam.
Diantara kriteria pertama dan utama yang mesti dibenahi terlebih dahulu adalah perkara keshalihan dan mushlih-nya seorang pemimpin. Shalih dalam artian menjalankan kewajiban dan ketaatan sebagai seorang muslim atau dalam istilah yang lebih umum disebut juga bersifat taqwa. Keshalihan ini tidak hanya nampak dari segi ibadahnya , namun juga dari segi muamalah, dan akhlak yang baik terhadap sesama dan rakyat yang dipimpinnya. Perilaku kepemimpinan seperti inilah yang disebut sebagai sikap keteladanan. Dalam islam, keteladanan ini merupakan harga mati yang tak bisa diremehkan oleh setiap pemimpin.. Islam mengajarkan bahwa keteladanan tak akan mungkin diraih tanpa adanya sifat shalih yang terpatri dalam jiwa seorang pemimpin. Sebab itu yang paling pantas menjadi qudwah/teladan utama adalah pemimpin yang paling shalih yaitu Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam sebagaimana sanjungan Allah ta’ala atas beliau :

لَّقَدۡ كَانَ لَكُمۡ فِي رَسُولِ ٱللَّهِ أُسۡوَةٌ حَسَنَةٞ لِّمَن كَانَ يَرۡجُواْ ٱللَّهَ وَٱلۡيَوۡمَ ٱلۡأٓخِرَ وَذَكَرَ ٱللَّهَ كَثِيرٗا ٢١

Artinya : “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah” (QS Al-Ahzab 21).
Ayat ini tidak hanya berisi sanjungan, namun juga perintah untuk selalu meneladani Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam yang mana beliau memiliki kepribadian qur-ani sebagaimana yang dikatakan Aisyah radhiyallahu’anha. Allah ta’ala juga telah menyanjungnya :
وَإِنَّكَ لَعَلَىٰ خُلُقٍ عَظِيمٖ ٤

Artinya : “Dan sesungguhnya kamu benar-benar berbudi pekerti yang agung” (QS Al-Qalam 4).
Sangat penting bagi seorang pemimpin untuk meneladani kepemimpinan beliau yaitu menjadi sosok teladan dalam segala perbuatan dan ucapannya dihadapan Allah dan manusia. Hal inilah yang dicontohi oleh para khulafa’ rasyidin sepeninggal beliau, sehingga tidak aneh jika sejak sebelum wafat Rasulullah telah mewanti-wanti umatnya untuk berpegang teguh dengan sunnah para khulafa’ rasyidin sebagaimana dalam sabdanya :
عليكم بسنتي وسنة الخلفاء الراشدين المهديين من بعدي

Artinya: “Berpegangteguhlah dengan sunnahku dan sunnah khulafa’ rasyidin yang diberi petunjuk sepeninggalku…”. (HR Abu Daud dan Tirmidzi, hasan shahih).
Oleh karena itu, sifat teladan ini wajib ada dalam diri seorang pemimpin. Agar masyarakat atau orang-orang bawahannya bisa meneladaninya dengan baik. Ini bisa tergambarkan dalam sosok pemimpin berikut :

Bersifat sebagai seorang murabbi (pembina)

Sifat inilah yang dipraktekkan oleh Rasulullah dan para khalifah setelahnya. Tidak hanya menjadi sosok yang disegani dengan perintah dan kewibawaannya, namun juga dihargai sebagai sosok pembina dan pendidik yang mengajarkan bawahan dan rakyat yang dipimpinnya akan nilai-nilai keimanan, ibadah dan akhlak yang baik. Ini bukan berarti bahwa seorang pemimpin harus berasal dari kalangan ulama, namun sekedar mengisyaratkan bahwa seorang pemimpin teladan tidak pantas jahil dan bersikap masa bodoh dengan ajaran-ajaran pokok islam.

Bersikap sederhana dan rendah hati

Artinya tidak menjadikan jabatannya sebagai batu loncatan untuk bermewah-mewahan dan menyombongkan diri, apalagi memperkaya diri lewat korupsi dan penyelewengan kekuasaannya. Tetap kalem dan ceria dihadapan rakyat dan yang dipimpinnya, serta selalu menanamkan prinsip bahwa keutamaan dan ketinggian derajat hakiki manusia ditentukan oleh takwa dan imannya, bukan jabatan dan pangkat.

إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ إِنَّ ٱللَّهَ عَلِيمٌ خَبِيرٞ ١٣

Artinya : Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal” (QS Al-Hujurat 13).

Bersikap jujur, amanah, dan adil 

Ia adalah kewajiban utama seorang pemimpin. Jika ia benar-benar mengaplikasikan sifat-sfat mulia ini, maka yang dipimpinnya tentu akan meneladani dan mengikuti sikapnya, sehingga kesejahteraan yang didambakan akan tercapai dengan mudah. Mereka yang adil, jujur dan amanah inilah salah satu dari tujuh golongan yang akan diberikan naungan oleh Allah diakhirat kelak, dimana saat itu tidak ada naungan selain naungan-Nya sebagaimana dalam hadis populer muttafaq ‘alaihi.

Adanya sinergi antara ucapan dan perbuatan

Pada dasarnya pemimpin yang teladan adalah yang berhasil menanamkan prinsip keberhasilan dalam diri pribadinya sendiri yaitu men-sinergi-kan antara ucapan, janji dengan perbuatan dan tindak tanduknya, tidak menjadi sosok munafiq yang hanya bermanis kata. Allah ta’ala berfirman :

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ لِمَ تَقُولُونَ مَا لَا تَفۡعَلُونَ ٢ كَبُرَ مَقۡتًا عِندَ ٱللَّهِ أَن تَقُولُواْ مَا لَا تَفۡعَلُونَ ٣

Artinya : “Wahai orang-orang yang beriman, kenapakah kamu mengatakan sesuatu yang tidak kamu kerjakan. Amat besar kebencian di sisi Allah bahwa kamu mengatakan apa-apa yang tidak kamu kerjakan”. (QS Ash-Shaf 2-3).
Selain itu, ia juga harus mampu menyeru orang-orang yang dipimpinnya lewat amalan dan kinerjanya. Inilah idealnya seorang pemimpin, yang tidak hanya mengeluarkan keputusan dan perintah, namun juga tetap terjun kelapangan demi memberikan sumbangsih lebih kepada yang dipimpinnya lewat amalan tangannya sendiri.

Taqwa, Shalih dan mushlih 

Tidak cukup untuk menjadikan seseorang sebagai pemimpin teladan yang sukses dan ideal jika sifat shalih atau taqwa yang ada dalam dirinya tidak dibarengi dengan sifat seorang mushlih yaitu yang turut andil dalam melakukan ishlah / perbaikan ditengah-tengah masyarakat baik dengan cara berdakwah, menegakkan amar ma’ruf nahyi munkar, ataupun sebagai donatur / turut mengorbankan hartanya untuk kepentingan dakwah islam. Seorang pemimpin yang shalih dan mushlih ini, tentu tidak akan menyalahgunakan jabatan yang dipikulkan padanya, karena tujuan utamanya menjadi pemimpin adalah demi memperbaiki dan mengatur kehidupan masyarakat dengan penuh keikhlasan. Berbeda dengan mereka yang hanya menjadikan jabatan ini sebagai aset penting untuk meraih berbagai macam keuntungan duniawi semata sebagaimana perihal banyak calon pemimpin yang berlomba-lomba mengejar jabatan, berebut kedudukan sehingga menjadikannya sebagai sebuah obsesi hidup. Menurut mereka yang menganut prinsip ini, hidup ini tidak lengkap rasanya, kalau tidak pernah memegang jabatan, menjadi orang penting, dihormati dan dihargai masyarakat.
     Demikian, semoga dari umat ini akan keluar para pemimpin teladan yang shalih-mushlih, dan mukhlis dalam menegakkan agama Allah ta’ala diatas bumi ini, amin.
Oleh Ustadz Maulana La Eda
(Mahasiswa Pascasarjana (s-2) Jurusan Ilmu Hadis Universitas Islam Madina)

Khusus Pecinta Al-Quran : Dasar-Dasar Ilmu Tajwid


al-quran-4


    Al-Quran merupakan kalaamullah (firman Allah) yang diturunkan kepada umat manusia agar menjadi pedoman, petunjuk dan rahmat bagi kehidupan mereka diatas bumi ini, sebagaimana dalam ayat :

 ذَٰلِكَ ٱلۡكِتَٰبُ لَا رَيۡبَۛ فِيهِۛ هُدٗى لِّلۡمُتَّقِينَ ٢

Artinya : “Kitab (Al Quran) ini tidak ada keraguan padanya; petunjuk bagi mereka yang bertakwa” (QS Al-Baqarah : 2).
Nilai-nilai dan aturan (perintah dan larangan) Allah yang ada didalamnya tentunya tidak mungkin bisa dipahami kecuali dengan membaca dan memahami makna ayat-ayat sucinya. Sebab itu, Allah ta’ala mewajibkan kepada umat islam untuk mempelajari bacaan Al-Quran dan memahami maknanya, minimal untuk sekedar bisa membacanya dalam pelaksanaan shalat. Dia berfirman :
وَرَتِّلِ ٱلۡقُرۡءَانَ تَرۡتِيلًا ٤
Artinya : “Dan bacalah Al Quran itu dengan tartil (perlahan-lahan)” (Al-Muzammil : 4). Tartil disini bermakna : tajwiid alhuruf (membaca dengan memberikan huruf-huruf hak-haknya).
Namun, ternyata bacaan Al-Quran memiliki aturan dan kaidah tersendiri yang sering disebut sebagai kaidah tajwid. Sebab itu sangat penting untuk mengetahui kaidah tajwid ini, agar kita bisa membaca dan memahami makna-maknanya dengan mudah. Bahkan, Allah ta’ala telah menentukan bahwa sekedar membaca ayat-ayatnya saja, maka seorang muslim akan diberikan 10 pahala kebaikan dari setiap huruf yang ia baca, sebagaimana dalam hadis Ibnu Mas’ud radhiyallahu’anhu :

« مَنْ قَرَأَ حَرْفًا مِنْ كِتَابِ اللَّهِ فَلَهُ بِهِ حَسَنَةٌ وَالْحَسَنَةُ بِعَشْرِ أَمْثَالِهَا لاَ أَقُولُ الم حرْفٌ وَلَكِنْ أَلِفٌ حَرْفٌ وَلاَمٌ حَرْفٌ وَمِيمٌ حَرْفٌ ».

Artinya: “Siapa yang membaca satu huruf dari Al Quran maka baginya satu kebaikan dengan bacaan tersebut, satu kebaikan dilipatkan menjadi 10 kebaikan semisalnya dan aku tidak mengatakan الم satu huruf akan tetapi Alif satu huruf, Laam satu huruf dan Miim satu huruf”.1
Dalam Al-Quran Allah berfirman :

إِنَّ ٱلَّذِينَ يَتۡلُونَ كِتَٰبَ ٱللَّهِ وَأَقَامُواْ ٱلصَّلَوٰةَ وَأَنفَقُواْ مِمَّا رَزَقۡنَٰهُمۡ سِرّٗا وَعَلَانِيَةٗ يَرۡجُونَ تِجَٰرَةٗ لَّن تَبُورَ ٢٩ لِيُوَفِّيَهُمۡ أُجُورَهُمۡ وَيَزِيدَهُم مِّن فَضۡلِهِۦٓۚ إِنَّهُۥ غَفُورٞ شَكُورٞ ٣٠

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mendirikan salat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi”. “Agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri”. (QS. Fathir: 29-30).
Dalam tafsirnya, Ibnu Katsir rahimahullah berkata : Qatadah rahimahullah berkata : “Dahulu, Mutahrrif bin Abdullah jika membaca ayat ini beliau berkata: “Ini adalah ayat orang-orang yang suka membaca Al Quran”.
Dan masih banyak lagi keutamaannya.
Untuk lebih mempermudah bacaan Al-Quran, para ulama kemudian meletakkan ilmu tajwid ini dengan meletakkan teori dan praktek yang lebih mudah dipahami dan diterapkan. Ilmu tajwid juga memiliki dasar-dasar ilmu, sebagaimana ilmu-ilmu islam lainnya seperti fiqh, tafsir, hadis dll agar seorang muslim bisa lebih tertarik dan mengagungkan ilmu –ilmu ini sebelum mempelajarinya lebih jauh. Inilah dasar-dasar ilmu tajwid yang mesti diketahui oleh pecinta Al-Quran.

1.Definisi Tajwid 

     Secara bahasa tajwid bermakna ihkaam wa itqaan yang berarti penguatan dan penyempurnaan. Adapun menurut istilah ulama ahli qiraat , definisi tajwid terbagi dua ; 1.Tajwid ‘Ilmiy (Tajwid secara teori) : yaitu pengenalan terhadap kaidah-kaidah pembacaan Al Quran yang diletakkan oleh para ulama tajwid ,seperti kaidah sifat-sifat makhaarij huruf, penjelasan huruf-huruf al mitslain, al mutaqaaribain, al mutajaanisain, hukum-hukum nun saakinah, mim saakinah, hukum madd dan pembagiannya, dll. Tajwid jenis ini dapat diketahui dengan mempelajari buku-buku yang membahas tajwid.
2.Tajwid ‘Amaliy (Tajwid secara praktek) : yaitu Pembacaan huruf-huruf Al Quran sesuai dengan teori atau kaidah tajwid dengan menyebutkan huruf-huruf dari makhrajnya secara tepat, memberikan hak-haknya seperti ikhfaa’, idghaam, idzhaar dll. Dan Tajwid jenis ini, tidak bisa diketahui kecuali dengan talaqqi atau membaca langsung dihadapan seorang guru yang ahli dalam ilmu tajwid ‘ilmiy ataupun ‘amaliy.
Seseorang belum bisa dikatakan sebagai orang yang menguasai tajwid kecuali jika ia telah menguasai dua jenis tajwid tersebut.

2.Tema Ilmu Tajwid 

Temanya adalah huruf-huruf Kitabullah Al Quran baik dari segi perbaikan penyebutan huruf-hurufnya, atau kesempurnaan dalam membaca dan melafazkannya. Ini menunjukkan bahwa ilmu tajwid adalah salah satu ilmu yang paling utama karena ia mempelajari cara membaca Kitab paling mulia yang merupakan kalam ilahi.

3. Visi / Pentingnya Ilmu Tajwid 

Pentingnya dan visi utama adanya ilmu ini adalah Untuk menjaga huruf-huruf Al Quran dari penambahan atau pengurangan serta dari perubahan baik dari segi perubahan huruf-hurufnya, atau baris-barisnya,

4.Keutamaan Ilmu Tajwid

Ia merupakan ilmu yang paling utama karena langsung berkaitan erat dengan Al Quran ,kalam ilahi yang merupakan sebaik-baik perkataan yang diturunkan kepada sebaik-baik manusia, Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam untuk diamalkan oleh umat terbaik, umat islam.

5.Penggagas Ilmu Tajwid 

Para imam ahli qiraat. Diriwayatkan bahwa ulama yang pertama kali menggagaskan pembagian-pembagian tajwid adalah Imam Abu Umar, Hafsh bin Umar Al Duri, dan ulama yang pertama kali menulis buku tentang tajwid adalah Imam Musa bin Ubaidillah Al Muqri’.

6.Sumber Ilmu tajwid 

Bacaan Al Quran Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, serta bacaan para sahabat, para tabi’in dan imam-imam ahli qiraat.

7.Tujuan Mempelajari Ilmu Tajwid 

Untuk meraih pahala yang disediakan oleh Allah ta’ala bagi ahli al quran berupa kebahagiaan dunia dan akhirat.

8.Hukum Mempelajari Ilmu Tajwid 

     Hukum mengetahui tajwid terbagi dua sesuai pembagian ilmu tajwid itu sendiri :
    1.Tajwid ‘Ilmiy : Hukum mempelajarinya adalah sunat bagi kaum muslimin secara umum. Walaupun ia tidak mengetahui teori-teori ilmu tajwid (tajwid ‘ilmiy), namun jika ia telah membaca Al Quran dengan baik dan benar, maka ia telah menjalankan kewajibannya dengan baik dalam membaca Al Quran. Adapun bagi penuntut ilmu Al Quran maka hukum mempelajarinya adalah fardhu kifayah.
    2.Tajwid ‘Amaliy : Hukumnya fardhu ‘ain bagi setiap muslim yang membaca Al Quran.
Dalilnya adalah perintah Allah dalam firmanNya :

  وَرَتِّلِ ٱلۡقُرۡءَانَ تَرۡتِيلًا ٤

Artinya : “Dan bacalah Al Quran itu dengan tartil (perlahan-lahan)” (Al-Muzammil : 4)
Tartil disini bermakna : tajwiid alhuruf (membaca dengan memberikan huruf-huruf hak-haknya). Dan perintah Allah dalam ayat diatas adalah perintah wajib yang ditujukan kepada setiap pembaca AlQuran. Para ulama juga telah sepakat bahwa tajwid ‘amaliy hukumnya : fardhu ‘ain.
Oleh karena itu barangsiapa yang membaca Al Quran tanpa meluruskan huruf-hurufnya atau membacanya tanpa sesuai kaidah tajwid maka ia telah berdosa kecuali kalau dengan tujuan belajar atau lisannya sangat susah diluruskan. Dan wajib diketahui bahwa tajwid ‘amaliy (praktek) tidak bisa diketahui dan dipraktekkan secara baik kecuali lewat talaqqi atau musyaafahah (belajar membaca langsung) dihadapan ahli tajwid yang menguasai teori dan prakteknya. Para ulama menyebutkan bahwa cara belajar membaca Al Quran dengan tajwid dihadapan seorang guru,ada 2 cara ;
    Pertama : Seorang murid mendengarkan langsung bacaan sang guru, yaitu guru tersebut membaca Al Quran dengan tajwid dihadapan muridnya yang mendengarkan bacaannya. Ini adalah cara yang dipraktekkan oleh ulama terdahulu.
    Kedua : Seorang murid membaca langsung dihadapan sang guru yang mendengarkan bacaannya. Ini adalah cara yang dipraktekkan ulama-ulama belakangan dan secara umum dipraktekkan dalam pengajaran Al-Quran zaman ini.
    Tapi, yang paling utama adalah menggabungkan antara dua cara ini jika ada kesempatan yang lapang bagi guru dan murid, namun jika tidak maka hendaknya mereka mempraktekkan cara yang kedua saja karena cara ini lebih banyak memberikan faedah dalam meluruskan dan memperbaiki bacaan sang murid. Wallaahu a’lam.
    Semoga dengan mengetahui dasar-dasar ilmu ini, kita termotivasi untuk lebih mempelajari dan mengajarkannya pada oranglain. Aamiin.
Oleh Maulana La Eda
(Mahasiswa Pascasarjana (s-2) Jurusan Ilmu Hadis Universitas Islam Madin)

1 .Hadis ini riwayat Tirmidzi dan selainnya, para ulamaberbeda pendapat apakah hadis ini marfu’ yang merupakan ucapan Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam, ataukah ia hanya mawquf yang merupakan ucapan Ibnu Mas’ud radhiyallaahu’anhu. Namun yang lebih nampak adalah bahwa hadis mawquf dan merupakan ucapan Ibnu Mas’ud, namun memiliki hukum marfu’ karena perkara penetapan pahala seperti hadis ini tidak mungkin diucapkan seorang sahabat hanya berdasarkan akal dan pendapat pribadinya, melainkan ia pasti mengambilnya dari Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam. Hadis ini juga diriwayatkan secara marfu’ dari Amr bin ‘Auf namun sanadnya dhoif. Wallaahu a’lam.

Kaidah dan Kriteria Makanan Halal dalam Islam (1)


Halal_Haram


Pengantar
     Makan dan minum adalah fitrah dan hajat hidup setiap manusia. Tanpanya manusia tidak akan dapat melanjutkan kehidupannya di dunia ini. Ini adalah takdir Allah atas setiap makhluq-Nya bernama manusia. Oleh karena itu dalam pandangan Islam, makanan dianggap sebagai salah satu faktor yang penting dalam kehidupan. Sebab, makanan berpengaruh besar terhadap perkembangan jasad dan rohani seseorang. Maka dari itu pula dalam ajaran Islam terdapat peraturan dan tuntunan mulai dari keharusan mengonsumsi makanan dan minuman yang halal, etika makan dan minum, sampai pengaturan kadar dan jumlah makanan/minuman yang masuk ke dalam perut.
     Akan tetapi sebagian orang tidak memperdulikan status hukum makanan yang masuk dalam tubuhnya. Asal lezat, ni’mat, dan murah langsung dikonsumsi, tanpa memperhatikan kehalalan dan ke[thayyib]an-nya. Padahal kwalitas kehalalan dan ke[thayyib]an makanan yang mendarah daging dalam jasad sangat berpengaruh pada kehidupan seseorang, baik di dunia maupun di akhirat. Makanan yang kandungannya tidak thayyib dipastikan akan merusak fisik. Adapun makanan yang tidak halal cara menghasilkannya akan berdampak pada kwalitas iman dan ruhani seseorang sampai menghalangi terkabulnya do’a.
Tulisan ini akan membahas persoalan makanan dan minuman menurut Islam. Sebab, sebagai Muslim kita harus selalu menyikapi segala sesuatu dengan nazar islami (pandangan Islam). Kita musti menjadikan Islam sebagai kerangka acuan dalam segala hal. Termasuk dalam urusan makanan.

Kaidah dan Kriteria Makanan Halal

     Sebelum lebih jauh membahas jenis-jenis makanan dan minuman yang halal atau haram, maka ada beberapa kaidah penting yang seharusnya dipahami dalam persoalan makanan dan minuman ini. Diantaranya:
Kaidah Pertama; Asalnya semua makanan adalah halal dan boleh sampai ada dalil yang mengharamkannya. Artinya selama tidak ada dalil al-Qur’an atau hadits Nabi yang mengabarkan bahwa makanan itu haram, maka makanan tersebut hukumnya halal. Oleh karena itu, anda tidak akan pernah menemukan daftar makanan atau minuman halal dalam al-Kitab dan as-Sunnah. Kaidah ini berdasarkan wahyu Allah dalam surah al-Baqarah [2] ayat 29 dan al-An’am [6] ayat 119:

هُوَ الَّذِي خَلَقَ لَكُمْ مَا فِي الْأَرْضِ جَمِيعًا

“Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untukmu”. (QS.2: 29)

وَقَدْ فَصَّلَ لَكُمْ مَا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ إِلَّا مَا اضْطُرِرْتُمْ إِلَيْهِ

“Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya”. (QS. 6: 119)
     Ayat pertama [2:29] menunjukkan bahwa segala sesuatu baik yang berupa makanan, minuman, pakaian yang ada di bumi adalah halal dan suci, kecuali yang diharamkan melalui dalil khusus dalam al-Qur’an dan al-hadits. (Lihat: Aisarut Tafasir, hlm. 39-40, Taisirul Karimir Rahman, hlm. 48). Semakna dengan itu ayat kedua [6;:119] menerangkan jenis-jenis makanan yang diharamkan, yang menunjukan bahwa semua makanan yang tidak ada pengharamannya dalam syari’at berarti adalah halal.
     Kaidah Kedua; Manhaj Islam dalam menghukumi ke-halal-an dan ke-haram-an suatu makanan dan minuman adalah ke-thayyib-an dan kesucian serta tidak mengandung unsur yang merusak. Sebaliknya Islam mengharamkan makanan yang khabits (kotor) serta mengandung dzat merusak dan berbahaya bagi tubuh. Kaidah ini merujuk kepada ayat Allah dalam surah al-Baqarah [2] ayat 68 dan 72 dan Al-Maidah ayat

يَا أَيُّهَا النَّاسُ كُلُوا مِمَّا فِي الْأَرْضِ حَلَالًا طَيِّبًا وَلَا تَتَّبِعُوا خُطُوَاتِ الشَّيْطَانِ ۚ إِنَّهُ لَكُمْ عَدُوٌّ مُّبِينٌ [٢:١٦٨]

Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi, dan janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syaitan; karena sesungguhnya syaitan itu adalah musuh yang nyata bagimu. (2:168)

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا كُلُوا مِن طَيِّبَاتِ مَا رَزَقْنَاكُمْ وَاشْكُرُوا لِلَّهِ إِن كُنتُمْ إِيَّاهُ تَعْبُدُونَ [٢:١٧٢]

Hai orang-orang yang beriman, makanlah di antara rezeki yang baik-baik yang Kami berikan kepadamu dan bersyukurlah kepada Allah, jika benar-benar kepada-Nya kamu menyembah.

يَسْأَلُونَكَ مَاذَا أُحِلَّ لَهُمْ ۖ قُلْ أُحِلَّ لَكُمُ الطَّيِّبَاتُ ۙ

Mereka menanyakan kepadamu: “Apakah yang dihalalkan bagi mereka?”. Katakanlah: “Dihalalkan bagimu yang baik-baik
     Makna thayyib dalam ayat-ayat tersebut segala sesuatu yang secara dzat nya baik, suci, bersih, mudah dicerna, mengandung gizi yang bermanfaat bagi jasad serta tidak mengandung dzat yang merusak dan membahayakan badan dan akal. Sementara yang dimaksud dengan halal adalah segala sesuatu yang secara dzat telah dibolehkan oleh Allah untuk dikonsumsi [thayyib] dan diperoleh dari penghasilan yang halal, tidak mencuri serta tidak berasal dari mu’amalah yang haram. Jadi, halal dalam ayat tersebut terkait dengan proses dan mekanisme mendapatkannya. Sedangkan thayyib terkait dengan dzatnya yang baik, bermanfaat, dan tidak berbahaya.
     Kaidah ketiga; semua jenis makanan yang berupa tumbuh-tumbuhan seperti biji-bijian dan buah-buahan atau yang diolah dari keduanya adalah halal. Kecuali yang mengandung unsur yang merusak tubuh dan akal. Demikian pula dengan makanan yang berupa hewan darat, semuanya halal kecuali jenis hewan tertentu yang dijelaskan pengharamannya dalam al-Qur’an dan al-Hadits (Perinciannya pada pembahasan tersenidiri). Adapun hewan laut semuanya halal tanpa kecuali. Kaidah ini merujuk kepada dua hal. [1]dalil-dalil umum tentang kebolehan mengonsumsi apa saja yang baik dan bermanfaat serta tidak mengandung mudharat, sebagaimana dijelaskan dalam dua kaidah sebelumnya. [2] Ayat Qur’an dan hadits Nabi yang menunjukan kehalalan seluruh makhluq laut, seperti surah al-Maidah ayat 96:

أُحِلَّ لَكُمْ صَيْدُ الْبَحْرِ وَطَعَامُهُ مَتَاعًا لَّكُمْ وَلِلسَّيَّارَةِ ۖ

     Dihalalkan bagimu binatang buruan laut dan makanan (yang berasal) dari laut sebagai makanan yang lezat bagimu, dan bagi orang-orang yang dalam perjalanan;
     Dalam sebuah hadits shahih diterangkan pula bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam pernah menyatakan halalnya hewan laut. Bahkan meskipun sudah menjadi bangkai. Beliau mengatakan bahwa, “Laut itu thahur (suci dan menyucikan) airnya dan halal bangkainya”. (terj. HR. Abu Daud, Tirmidizy, Nasai, dan Ibnu Majah). Yakni bangkai hewan yang hidup di laut halal dikonsumsi.
     Kaidah dan kriteria makanan halal menurut Islam seperti diterangkan di atas menunjukan kemudahan syari’at Islam dalam masalah ini. Karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menghalalkan semua makanan yang baik dan mengharamkan segala jenis makanan yang tidak baik bagi tubuh dan diperoleh dari cara yang tidak benar. Artinya unsur kehalalan makanan dalam Islam tidak hanya dilihat dari aspek dzatnya yang baik dan halal. Tapi dilihat juga dari sisi proses dan cara mendapatkannya. Semoga Allah menuntut hati kita untuk ridha dengan rezki-Nya yang halal yang kita dapatkan melalui cara yang halal pula. Allahumma aghniyna bi halalika ‘an haramika. (Bersambung insya Allah). Depok, 3/01/1435 H).-sym-
Catatan: Sebelumnya tulisan ini pernah dimuat pada Majalah Al-Firdaus

Akhlak Islami : Dan Janganlah Kamu Melupakan Kebaikan Diantara Kamu

Dan Janganlah Kamu Melupakan Kebaikan Diantara Kamu  “1
Tema tulisan ini bersumber dari firman Allah ta’ala :
{ وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ} [البقرة: 237]
Dan Janganlah Kamu Melupakan Kebaikan Diantara Kamu  “(Al Baqarah : 237)
Ayat ini merupakan kaedah akhlak yang mengisyaratkan keagungan dan kemuliaan agama islam, ayat ini terdapat dalam redaksi ayat thalaq / perceraian :

{وَإِنْ طَلَّقْتُمُوهُنَّ مِنْ قَبْلِ أَنْ تَمَسُّوهُنَّ وَقَدْ فَرَضْتُمْ لَهُنَّ فَرِيضَةً فَنِصْفُ مَا فَرَضْتُمْ إِلَّا أَنْ يَعْفُونَ أَوْ يَعْفُوَ الَّذِي بِيَدِهِ عُقْدَةُ النِّكَاحِ وَأَنْ تَعْفُوا أَقْرَبُ لِلتَّقْوَى وَلَا تَنْسَوُا الْفَضْلَ بَيْنَكُمْ إِنَّ اللَّهَ بِمَا تَعْمَلُونَ بَصِيرٌ

Dan jika kamu menceraikan mereka sebelum kamu sentuh (campuri), padahal kamu sudah menentukan maharnya, maka (bayarlah) seperdua dari yang kamu tentukan, kecuali jika mereka (memaafkan/membebaskan) atau dibebaskan oleh orang yang akad nikah ada ditangannya, pemaafan (pembebasan) itu lebih dekat kepada takwa, Dan janganlah kamu lupa kebaikan diantara kamu. Sungguh Allah Maha Melihat apa yang kamu kerjakan “(Al-Baqarah : 237).
Makna Kaedah Dalam Ayat Ini :
    Allah ta’ala memerintahkan orang-orang yang sebelumnya memiliki hubungan pernikahan ,  jika terjadi perceraian diantara mereka, hendaknya masing-masing pasangan jangan melupakan kebaikan dan jasa masing-masing hanya lantaran adanya peristiwa cerai tersebut.  Kaedah ini, Allah sebutkan setelah perintah untuk saling memaafkan antara pasangan yang bercerai.  Secara umum, kehidupan suami istri tidak terlepas dari sisi baik dan positif, namun jika ditakdirkan adanya perceraian diantara keduanya, maka ini tidak berarti harus saling memusuhi dan melupakan jasa atau kebaikan masing-masing. Karena seharusnya, walaupun tidak lagi serumah, namun hendaknya –dari sisi akhlak- masing-masing harus tetap saling memaafkan, menghargai dan menghormati. Sungguh sangat indah, jika kaedah ini diterapkan dalam masyarakat kita –baik yang berkaitan dengan hubungan nikah, dagang, atau lainnya-.
Diantara contoh penerapan kaedah ini, saya dapatkan dari orang yang saya kenal : Ketika ia menceraikan istri yang ia mempunyai anak darinya, ia lalu menempatkan mereka ditingkat atas dari gedung apartemennya, sedangkan dia lebih memilih untuk tinggal dilantai bawah. Dan dialah yang kemudian menafkahi mantan istrinya tersebut, sehingga banyak tetangga yang tidak tahu bahwa mereka telah bercerai. Orang ini saya anggap diantara orang yang sangat menerapkan perintah Allah dalam kaedah agung ini :  ” Dan Janganlah Kamu Melupakan Kebaikan Diantara Kamu    “.
    Cermatilah akhlak Rasulullah shallallahu’alaihi wasallam dalam menerapkan kaedah ini, sampai-sampai pada seorang msyrik pun. Ketika beliau melihat orang-orang Quraisy yang tertawan dalam perang badr, beliau bersabda : “Seandainya Muth’im bin ‘Ady masih hidup, lalu memintaku untuk membebaskan mereka  (para tawanan tanpa tebusan), maka saya akan membebaskan mereka untuknya”. (HR Bukhari : 2907).
    Muth’im bin ‘Ady adalah seorang musyrik, namun karena dialah yang melindungi dan menjamin keselamatan beliau tatkala memasuki Mekah sepulangnya dari Thaif yang saat itu ia dilempari batu dan dihina, maka Rasul pun tidak melupakan jasanya, bahkan jika seandainya ia masih hidup dan meminta agar para tawanan tersebut dibebaskan, maka beliau akan melakukannya sebagai pembalasan atas jasa Muth’im bin ‘Ady.
    Dalam keseharian kita, sudah tentu terdapat banyak jenis hubungan dan kedekatan baik berupa ikatan pernikahan, kerabat, profesi, atau ikatan lainnya. Dalam semua ikatan ini hendaknya diterapkan kaedah tersebut, agar rasa kekeluargaan, cinta dan persaudaraan bisa terjaga, sebaliknya jika kaedah ini tidak diterapkan, maka pasti akan menimbulkan banyak perselisihan dan permusuhan karena setiap orang hanya akan melihat sisi negative dari orang lain.
    Bahkan dua orang yang awalnya tergabung dalam profesi yang sama, atau bekerja sama dalam usaha dagang tertentu, jika berpisah karena satu dan lain hal, maka keduanya hendaknya tetap saling menghargai dan berhubungan, tidak saling melupakan jasa masing-masing apalagi saling bermusuhan. Demikian pula tetangga-tetangga atau jamaah masjid kita yang berpindah tempat, hendaknya tetap berinteraksi dengan mereka sebagai penerapan kaedah ini.
    Sebagian ulama berkata : “Diantara keberkahan rezeki ; seorang hamba hendaknya tidak melupakan keutamaan dan kebaikan orang lain dalam proses muamalah, sebagaimana firman Allah ta’ala :   Dan Janganlah Kamu Melupakan Kebaikan Diantara Kamu    “.
    Kita memohon kepada Allah ta’ala, agar menganugrahkan kita petunjuk akhlak dan amalan yang baik dan melindungi kita dari akhlak dan amalan yang buruk. Aamiin .
1 .Diringkas dan diterjemahkan dari kitab Al-Qawaa’id Al-Qur-aniyyah karya Syaikh Umar Al-Muqbil (Dosen Hadis Fakultas Syariah, Universitas Qasim, KSA)

TADWIN AS-SUNNAH

I.MUQADDIMAH
 
    Kedudukan As-Sunnah sangat tinggi dan agung dalam islam di mana ia merupakan sumber hukum dan syariat islam tertinggi setelah Al Qur’an Al-Karim. Bahkan, sebagai satu di antara dua bagian wahyu ilahi yang diberikan kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- (bagian yang lain adalah Al qu’ran),yang dengannya Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- menganjurkan ummatnya untuk menghafal dan meriwayatkannya(menyampaikannya) sebagaimana yang datang dari beliau,sebagaimana beliau menegaskan agar pengambilan hadits dari beliau shahih (tepat) dan akurat, tanpa tambahan ataupun pengurangan yang pada hakikatnya adalah kedustaan atas Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- yang pelakunya terancam neraka.
    Maka bertitik tolak dari hal tersebut,kita dapat melihat secara gamblang dalam sejarah islam betapa besar dan maksimalnya perhatian (‘inayah) ulama ummat ini terhadap As-Sunnah,menghafalnya,memeliharanya (dengan pengamalan yang prima),mencatat dan membukukannya,melakukan perjalanan(rihlah) yang panjang dan berat di jalan As-sunnah,melakukan pemisahan antara riwayat yang shahih dengan yang lemah atau palsu,melakukan pencatatan nama-nama periwayat hadits dan menjelaskan derajat kapabilitas ‘adalah serta kekuatan hafalan dan pemahaman mereka,dan berbagai macam penilaian positif(ta’dil) maupun negative (jarh) yang berkaitan dengan sanad hadits maupun matannya.
Keberadaan ahlu-hadits ini merupakan salah satu karekteristik pokok dan suatu spesifikasi ummat ini yang membedakan mereka dari ummat-ummat yang lain. Mereka para ahlu-hadits yang telah membuktikan kekuatan potensi ilmiah yang dahsyat dan susah dibandingkan dengan para ahli ilmu lainnya. Dan sesungguhnya ini adalah manifestasi dan pembuktian firman Allah ta’ala dalam Al Quran Al Karim:
إنا نحن نزلنا الذكر وإنا له لحافظون
Sesungguhnya Kami yang menurunkan Adz-Dzikr dan sesungguhnya Kami-lah yang menjaganya”.(Al-Hijr:9).

II.MAKNA TADWIN SUNNAH

    Secara bahasa, kata Tadwin (التدوين) bermakna (المتشتت في ديوان) artinya : ”mengikat yang terpisah dan mengumpulkan yang terurai (dari tulisan-tulisan)pada suatu diwaan.”
Dan “diwaan” (الديوان) adalah kumpulan kerts-kertas atau kitab (buku) yang biasanya dipakai untuk mencatat keperluan tertentu, misalnya diwaan ahlu jaisy (buku daftar keluarga militer) yang dalam sejarah Islam untuk pertama kalinya dilakukan Umar. ( lihat Kamus Mukhtar Ash Shihaah dan Qamus Al-Muhith serta kamus-kamus Arab lainnya pada materi : (د و ن).
    Adapun “tadwin As-Sunnah” (تدوين السنة), maknanya adalah penulisan riwayat-riwayat hadits nabawy pada kumpulan lembaran atau buku (kitab).
    Tadwin As-Sunnah adalah merupakan salah satu bentuk inayah yang besar dan khidmat yang agung dari para ulama Ahli Hadits terhadap Sunnah Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.

III. KAPAN DIMULAI TADWIN AS-SUNNAH?


    Kebanyakan kaum muslimin memahami bahwa dalam kurun waktu lebih dari seratus tahun para ulama saling meriwayatkan dan menerima hadits dengan lisan dan hafalan saja tanpa ditulis dan bahwasanya orang yang pertama kali menulis hadits adalah Imam Muhammad bin Syihab Az-Zuhri (wafat 124H),atas perintah dari khalifah Ar-Rasyid Umar bin Abdul Aziz.
    Dan pemahaman ini semakin bertambah masyhur, kuat dan berlangsung terus sampai sekitar 5 abad, hingga munculnya tokoh ulama hadits yang terkenal Al Khatib Al Baghdadi, yang melalui sebuah studi yang akurat dapat membuktikan bahwa penulisan hadits nabawi telah ada jauh sebelum masanya Imam Az Zuhri, bahkan dalam kitabnya “Taqyidul-‘ilmi” beliau menyatakan bahwa pencatatan hadits telah ada ketika Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- masih hidup dan juga di masa shahabat dan taabi’in.
Telah diriwayatkan dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- melarang pencatatan hadits-haditsnya,sebagaimana diriwayatkan pula bahwa beliau memberikan izin kepada sahabat-sahabatnya untuk mencatat/menulis.
    Para ulama Muhaqqiqin menyatakan bahwa riwayat-riwayat yang berisi larangan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam pencatatan hadits beliau,semuanya lemah kecuali hadits Abu Sa’id Al-Khudri –radhiyallahu ‘anhu-,bahwasanya Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, bersabda:

لا تكتبوا عني ومن كتب عني غير القرآن فليمحه
 
Jangan kamu menulis dariku (hadits-haditsku) siapa yang menulis darku selain Al Quran maka hendaknya ia menghapusnya”.(Riwayat Imam Muslim;Imam Bukhari menyatakan bahwa riwayat ini mauquf pada Abu Sa’id)
    Di antara riwayat-riwayat yang berisi izin Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam pencatatan hadits beliau:
1. Berkata Abdullah bin Amr bin Ash –radhiyallahu ‘anhuma-, “Saya pernah menulis segala apa yang saya dengar dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, saya ingin menghafalkannya,lalu orang-orang Quraisy melarangku seraya berkata, “Engkau menulis segala apa yang engkau dengarkan dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- sedangkan ia manusia biasa yang bisa berbicara dalam keadaan marah dan ridha?” Lalu saya menghentikan menulis, lalu saya sampaikaan itu kepada Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, maka beliau member isyarat dengan jarinya kemulutnya dan berkata,
 
((اكتب فوالذي نفسي بيده ما خرج منه إلا حق))

“Tulislah! Demi zat yang jiwaku ada ditangan-Nya tidak keluar darinya kecuali yang haq”(Riwayat Imam Ahmad, Ad darimi, Abu Daud, Ibnu Abdil Barr dalam Jami’ Bayanil-‘ilm dan Al Khatib dalam At Taqyiid dari banyak jalan)
2. Berkata Abu Hurairah, “Tidak ada seorangpun sahabat yang lebih banyak haditsnya dariku kecuali Abdullah bin Amru bin ‘Ash karena ia menulis sedangkan aku tidak menulis”.(HR.Imam Bukhari).
3. Berkata Abu Hurairah, “Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- pernah berkhutbah pada Fathu Makkah, lalu berdiri seorang dari Yaman yang bernama Abu Syah dan berkata, ”Ya Rasulullah saya minta dituliskan (perkataanmu).Maka Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- bersabda,
((اكتبوا لأبي شاه))
 
Tuliskanlah untuk Abu Syah”.(HR.Imam Bukhari, Imam Ahmad dan lain-lain.Imam Abdullah bin Ahmad dan mengatakan tidak ada riwayat yang paling shahih mengenai bolehnya menulis hadits selain hadits ini).
4. Berkata Ibnu Abbas –radhiyallahu ‘anhuma- ,”Ketika sakit Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- semakin parah beliau bersabda:
((ايتوني بكتاب أكتب لكم كتابا لا تضلوا بعده)),
 
Ambilkan aku kitab!aku akan tuliskan untuk kamu suatu tulisan yang kamu sekalian tidak akan sesat setelahnya”. (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad dan lain-lain)
Masih banyak lagi riwayat-riwayat yang shahih berkenaan dengan dibolehkan (oleh Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-) menulis hadits.Di samping itu ada juga riwayat-riwayat yang lemah, yang sebagiannya dapat naik menjadi hasan.
Bertolak pada penerimaan Ulama terhadap keshahihan hadits Abu Said di atas,maka berarti dua hal yang zhahirnya kontradiktif yang sama-sama diriwayatkan dari Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.
Bagaimana manhaj ulama muhadditsin dalam memadukan dua macam riwayat di atas?
a. Bahwa larangan menulis hadits itu hanya pada awal Islam,yang mana dikhawatirkan pula bercampurnya hadits dengan Al-Quran. Setelah jumlah kaum muslimin bertambah banyak dan merekapun memiliki pengetahuan yang baik terhadap Al Quran, mampu membedakannya dari hadits-hadits nabawi, maka hilanglah kekhawatiran itu ditambah lagi dengan semakin banyaknya Sunnah Nabawiyah sehingga bila ditulis bisa hilang sebagiannya. Maka, hukum larangan menjadi manshukh dan berubah menjadi kebolehan.(Para Ulama telah menjelaskan dengan hujjah yang kuat bahwa Hadits Abdullah bin Amru dan Hadits Abu Hurairah di atas lebih akhir dari hadits Abu Sa’id).
b. Bahwa adanya larangan menulis hadist itu karena kekhawatiran akan larutnya orang-orang dengan menulis sehingga terlalai dari Al-Quran. Dan di sisi lain adalah dalam rangka menjaga/melestarikan kekuatan hafalan kaum muslimin karena berpatokan terhadap tulisan akan menyebabkan melemahnya hafalan. Maka di sini larangan berlaku untuk sahabat yang tidak diragukan kekuatan hafalannya, adapun yang tidak kuat hafalannya maka Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- mengizinkannya untuk menulis, misalnya pada kasus Abu Syah.
c. Bahwa larangan berlaku umum, dengan alasan (‘illat) karena dikhawatirkan bercampurnya hadits dan Al Quran,sehingga dengan ‘illat ini dikecualikan orang-orang yang dijamin tidak keliru dalam menulis semisal Abdullah bin Amru bin Ash yang dipercaya oleh Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam urusan ini.Para Ulama Muhaqqiqin dari Ahlu-hadits menyatakan bahwa ketiga pendapat ini sebetulnya tidak ada pertentangan dan dengan mudah dapat dipadukan satu sama lain.Walhamdulillah.
Dari pembahasan ini dapat disimpulkan bahwa penulisan hadits (tadwinussunnah) telah dimulai di masa Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-.Tidak sebagaimana yang senantiasa digembar-gemborkan oleh para orientalis dan juga dipahami oleh kebanyakan kaum muslimin bahwa Sunnah belum ditulis kecuali pada masa Imam Az-Zuhri (periode shigharuttaabi’in).
IV.PERIODISASI TADWIN SUNNAH

    Sejarah penulisan (kodifikasi) Sunnah telah melalui perjalanan yang panjang dengan melalui beberapa periode sebgai berikut:
1. Periode Abad I H. (sebagian muhadditsin menyebut periode ini dengan marhalah at ta’siis).
Periode ini mencakup masa kehidupan Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam-, masa sahabat sepeninggal beliau dan masa tabi’in.
Usaha dan perjuangan yang dilakukan sahabat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- adalah pondasi awal dalam pencatatan Sunnah serta upaya penghafalan dan periwayatannya/panyampaiannya kepada ummat ini, sebagaimana usaha dan perjuangan mereka adalah pondasi dalam penyebaran din Islam dan pengokohan aqidah dan penjagaan Sunnah dari segala apa saja yang merusaknya.
Di antara upaya-upaya sahabat Rasulullah -shallallahu ‘alaihi wa sallam- dalam hal Tadwin sunnah adalah sebgai berikut:a. Motivasi dalam mengahafal dan menguatkan hafalan, bahkan banyak di antara mereka yang menyuruh murid-muridnya untuk menulis dalam rangka menguatkan hafalannya lalu menghapus kembali tulisan itu agar tidak menjadi patokan/sandaran. b. Menulis Sunnah dan mengirimkannya kepada orang lain.
c. Menganjurkan kepada murid-murid mereka untuk menulis/mencatat hadits.
d. Mencatat dan mengumpulkan hadits dalam diiwaan (lembaran-lembaran).
Setelah masa sahabat datanglah generasi tabi’in yang memawarisi Sunnah. Bahkan, dien ini secara keseluruhan dari sahabat dan mereka tampil dengan mengemban amanah penyampaian risalah kepada seluruh manusia. Mereka telah memaksimalkan usaha mereka dalam rangka ta’zhim dan khidmat terhadap Sunnah dalam berbagai bentuk dan upaya.
Dan di antara usaha besar dan kerja keras mereka khusus untuk tadwin sunnah adalah sebagai berikut:
a. Menganjurkan untuk iltizam kepada Sunnah, menghafal dan menulisnya, serta tatsabbut dalam meriwayatkan dan mendengarkannya.
b. Mencatat Sunnah dalam lembaran-lembaran.
c. Usaha-usaha yang besar dari dua imam kaum muslimin, Khalifah Umar bin Abdul Aziz dan Ibnu Syihab Az Zuhri,dalam tadwin sunnah.
2.Periode abad II (marhalah at ta’-shil)
    Periode ini mencakup dua generasi,yaitu generasi shigar at Tabi’in dan generasi atba’uttabi’in. Dalam periode ini khidmah kepada Sunnah dan ilmu-ilmunya semakin meningkat, upaya penjagaan dari segala hal yang menodai dan mengotorinya makin gencar. Di masa ini mulailah Sunnah dikodifikasikan secara teratur dan tersusun. Bersamaan dengan itu muncul pulalah ilmu rijal, yang cikal-bakalnya telah muncul sejak akhir masa sahabat dan kibar at tabi’in ditandai dengan munculnya pertanyaan tentang isnad. Di tangan generasi inilah awal mula disusunnya kitab-kitab ilmu rijal dan kitab-kitab hadits yang tersusun atas bab-bab dan pasal-pasal.Beberapa perkembangan tadwin sunnah yang terjadi pada periode ini:

a. Lahirnya metode penulisan hadits yang baru yaitu hadits-hadits disusun teratur bab per-bab (tashnif).

b. Penggabungan ucapan (atsar) sahabat dan fatwa-fatwa tabi’in dengan hadits-hadits nabawi dalam        kitb-kitab yang ditulis pada periode ini.Setelah sebelumnya atsar dan fatwa tersebut tidak ditulis.

Periode ini dipandang sebagai masa pengokohan ilmu-ilmu Sunnah, di masa ini hidup tokoh-tokoh besar Sunnah, para imam yang mulia: Malik, Asy-Syafi’i, Sufyan Ats-tsauri, al-Auzai’Ii Syu’bah bin Hajjaj, Ibnu Mubarak, Ibrahim Al Fazari, Ibnu Uyainah, Yahya bin Said al Qaththan, Ibnu Mahdi, Waki’ dan lain-lain.

3.Periode Abad III (Marhalah An-Nudhj)

Periode ini merupakan masa kemajuan ilmu-ilmu keislaman secara umum, dan ilmu-ilmu Sunnah secara khusus.bahkan masa ini dipandang sebagai masa keemasan Sunnah Nabawiyah, yang mana pada masa ini semakin gesit rihlah untuk Tholabil-‘ilm, semakin gencar penulisan kitab dalam ilmu rijal dan semakin luas karya-karya dalam tadwin sunnah. Munculnya Kitab-kitab Masanid, Shihah dan Sunan. Yang diantaranya adalah Al Kutub As Sittah.Pada periode ini tampil para tokoh-tokoh Huffazh, ahli naqd (kritik hadits) dan ulama-ulama besar seperti: Imam Ahmad bin Hanbal, Ishaq bin Rahuyah, Ali bin Al Madini, Yahya bin Ma’in, Abu Abdillah Al Bukhari, Muslim bin Hajjaj, Abu Zur’ah, Abu Hatim Ar Razi, Utsman bin Sa’id Ad Darimi, Abdullah bin Abdurrahman Ad Darimi, Abu Daud, At Tirmidzi, An Nasaai, Ibnu Majah dan lain-lain. Yang kesemuanya merupakan pelopor ilmu hadits secara umum dan ilmu jarh wa ta’dil secara khusus. Dari tangan-tangan mereka pula lahir suatu bentuk karya baru dalam tadwin sunnah ,yaitu kitab-kitab aqidah, sebagai upaya membentangi islam dan Sunnah dari golongan ahlu ahwa wal bida’.

4.Periode abad IV (Marhalah al Istikmal)

Periode ini merupakan tahap lanjutan dan penyempurnaan terhadap karya-karya periode sebelumnya.Pada abad IV H,para ulama umumnya mengikuti manhaj pendahulunya (generasi III). Dalam penulisan sunnah. Di antara mereka ada yang mengikuti manhaj Ash Shahihain dengan mengeluarkan hadits-hadits shahih saja dalam kitab mereka, adapun yang mengikuti manhaj kitab-kitab sunan dengan mengeluarkan hadist-hadits yang berkaitan dengan hukum-hukum dan adab-adab dan adapula yang mengarahkan karyanya pada masalah ikhtilaf al hadits. Pada periode ini pulalah muncul bentuk baru dalam tadwin sunnah seperti munculnya kitab-kitab mustakhrajat, dan ma’ajim (mu’jam-mu’jam) hadits. Muncul pula pengkodifikasian syarah hadits (fiqhul hadits). Muncul pula pengkodifikasian ilmu mustholah hadits untuk pertama kali dan munculnya karya ulama dalam ilmu ‘ilal al hadits. Dalam ilmu jarh wa ta’dil pun terdapat beberapa kitab-kitab terkenal dan merupakan referensi yang ditulis ulama pada masa ini.
Di antara tokoh dan Imam Sunnah di masa ini adalah Ibnu Khuzaimah, Ibnu Hibban, Ibnu As Sakan, Al Hakim, Ibnul Jarud, ad Daraquthni, Ath Thahawi, Ath Thabarani, Abu Nu’aim Al Ashbahabi, Al Isfirayini dan lain-lain.

5.Periode abad V H (Marhalah at-tahdzib)

Pada abad V H, ulama memunculkan kreasi baru dalam tadwin sunnah, yang mana merupakan perluasan dan pengayaan khazanah haditsiyah.Misalnya:
a.Pengumpulan hadits-hadits dari kitab-kitab yang berbeda, seperti penggabungan hadits-hadits Shahihain, penggabungan hadits-hadits Al Kutub As Sittah, penggabungan hadits-hadits dari kitab-kitab yang berbeda-beda.
b.Munculnya kitab-kitab takhrij
c.Munculnya kitab-kitab maudhu’at.
d.Munculnya kitab-kitab tentang hadits-hadits At Targhif wattarhib.Di samping adanya karya-karya para ulama yang mengikuti manhaj para ulama sebelumnya seperti kitab-kitab sunan (hadits-hadits ahkam) dan mustakhrajat. Jenis usaha lain yang semakin menguat pada masa ini adalah pensyarahan terhadap hadits-hadits yang terdapat pada kitab-kitab hadits yang ada. Di antara tokoh-tokoh hadits di masa ini adalah Al Baihaqi, Al Baghawi, Muhammad bin Nashir al Humaidi, Al Khatib Al Baghdadi, Ibnu Abdilbarr dan sebagainya.

6.Periode abad VI dan VII (Marhalah at tamhish)

Pada periode ini ulama menempuh berbagai bentuk pengkhidmatan terhadap Sunnah melalui buah karya mereka, yang umumnya adalah melanjutkan apa yang telah dirintis oleh generasi sebelumnya yang tentunya dengan susunan-susunan yang umumnya lebih baik dari sebelumnya misalnya:
a. Kitab-kitab maudhu’at.
b. Kitab-kitab hadits ahkaam.
c. Kitab-kitab gharibul hadits.
d. Kitab-kitab athraful hadits.

7.Periode abad VIII dan IX (Marhalah al Jam’i wattartib)

Pada periode ini para ulama juga melakukan tadwinus sunnah dalam bentuk inayah dan khidmat kepada kitab-kitab salaf (generasi-generasi awal) dengan mensyarahnya, selain itu mereka juga menyusun biografi (tarjamah) para periwayatnya.
Di samping itu para ulama di periode ini melanjutkan apa yang telah dilakukan oeh generasi sebelumnya dan di antara yang paling nampak adalah munculnya kitab-kitab Takhrij dan kitab-kitab Jawami’.Pada periode ini pula sebuah kreasi baru muncul dari kalangan Ulama yaitu adalah kitab-kitab Zawaaid.

8.Periode Pasca Abad IX hingga awal abad XIV (Marhalah aljumud)

Pada periode ini gerakan ilmiah dalam alam islami mengalami kemunduran, termasuk dan terutama dalam ilmu-ilmu Sunnah nabawiyah.Namun,hal ini bukan berarti sama sekali tidak ada produksi para ulama hadits hanya saja adanya kreasi-kresai baru menjadi sesuatu yang langka dan hanya peran muhadtstsin tidak lagi sebesar sebagaimana sebelumnya.Di antara tokoh besar ulama hadits yang hidup di zaman ini adalah Al Imam Jalaluddin As Suyuthi, Al Hafizh As Sakhawi, Al Hafizh Zakariya Al Anshari, Muhammad Al Baiquni, Imam Waliyyullah Ad Dahlawi, Al ‘Ajluni, As Saffaarini, Az Zabidi, Muhammad bin Ali Asy Syukani dan lain-lain.

9.Periode abad XIV hingga sekarang (marhalah an nuhdh wal inbi’ats),

Pada periode ini, khidmatus sunnah mengalami suasana perkembangan baru, dengan adanya peran percetakan, di awali dengan masuknya percetakan ke alam islmai mulai dari Mesir, kemudian Syam, Iraq, Palestina. Libanon, India dan seterusnya. Maka perhatian diarahkan kepada percetakan kitab-kitab agama terutama yang berkaitan dengan Al Quran ,Hadits, dan Fiqh ,mulailah diadakan pengumpulan karya-karya agung para ulama dalam ulum As Sunnah dalam berbagai disiplinnya, termasuk tadwinus sunnah di mana kitab-kitab induk mulai dicetak begitu pula kitab-kitab yang berhubungan dengannya.Pada pertengahan abad 20 M, gerakan ilmiah ini makin luas dan gencar, terutama setelah kaum muslimin memahami tujuan-tujuan busuk yang terselubung dalam kedok imperialisme Barat yang berupaya memadamkan islam dengan jalan memadamkan Sunnah. Di antara ulama muhaditsin yang hidup di zaman ini adalah Syamsulhaq Azhim Abadi, Abul ‘Ala Al Mubarakfuri, Ahmad Syakir, Muhammad Nashiruddin Al Albani dan lain-lain.
V. MENGENAL KITAB-KITAB HADITS YANG TERKENAL:
1. Dari abad II :
Al Muwaththa (Imam Malik bin Anas), Al Mushannaf (Abdurrazzaq Ash Shan’ani), Al Mushannaf (Ibnu Abi Syaibah).
2. Dari abad III :
a. Kitab-kitab masanid (musnad-musnad) : Musnad Abu Daud Ath Thayalisi, Musnad Imam Ahmad bin Hambal, Musnad Ahmad bin Amru Al Bazzar, Musnad Abu Ya’la Al Maushili, Musnad Al Humaidi, Musnad Ibnu Rahuyah dan sebagainya.
b. Kitab-kitab shihah : Shahih Imam Bukhari dan Shahih Imam Muslim.
c. Kitab-kitab sunan : Sunan Abi Daud, Sunan (Jami’) At Tirmidzi, Sunan An Nasa’i, Sunan Ibnu Majah dan Sunan Ad Darimi.
d. Kitab-kitab hadits yang berkaitan dengan aqidah : As Sunnah (Imam Ahmad), As Sunnah (Abdullah bin Ahmad), As Sunnah (Abu Nashr Al Marwazi), Ar Raddu ‘alal Jahmiyah (Imam Ahmad), Al Raddu ‘ala Bisyr Al Marisi Al Mu’tazili (Imam Ad Darimi), Khalqu Af’aalil ‘Ibad (Imam Bukhari) dan sebagainya.3. Dari abad IV :
a. Kitab-kitab Shihah : Shahih Ibnu Khuzaimah, Shahih Ibnu Hibban, Shahih Ibnu Sakan, Mustadrak Al Hakim.
b. Kitab-kitab Sunan : Muntaqa Ibnul Jarud, Sunan Ad Daraquthni.
c. Kitab-kitab yang berkaitan dengan ilmu mukhtalafil-hadits : Syarh musykil al-aatsar (Ath Thahawi).
d. Kitab-kitab Mustakhrajat : Mustakhrajat Abu Bakar Al Isma’ili (tehadap Shahih Bukhari), Mustakhrajat Abu ‘Awanah Al Isfarayini (atas Shahih Muslim).
e. Kitab-kitab Ma’ajim : Al Mu’jam Al Kabir, Al Mu’jam Al Ausath, Al Mu’jam Ash Shagir (ketiganya oleh Imam Ath Thabarani).
f. Kitab-kitab syarah hadits : Tahdzibul aatsar (Ibnu Jarir Ath Thabari), Syarhu Ma’anil Aatsaar (Ath Thahawi), Syarhu Shahihil Bukhari dan Ma’alim as sunan (keduanya oleh Al Khaththabi).
4. Dari abad V :
a. Kitab-kitab Sunan : Sunan Al Kubra (Al Baihaqi).
b. Kitab-kitab yang mneggabungkan Kitab-kitab hadits sebelumnya:
– yang menggabungkan shahihain: Al Jam’u baina Ash Shahihain (masing-masing ditulis oleh Ibnu Nashr Al Humaidi, Abu Bakar Al Barqani dan lain-lain).
– yang menggabungkan al Kutub as Sittah : At Tajrid lish-shihaah wassunan ( Al Hafizh As Sarqasti), Jaami’ al- ushuul (Ibnu Atsir Al Jazari).
– yang menggabungkan hadits-hadits dari kitab-kitab yang berbeda: Bahrul asaaniid fi shahihil masaaniid (Al Hafizh Abu Muhammad As Samarqandi), Mashaabihus-sunnah (Imam Al Baihaqi).
c. Kitab-kitab maudhu’at : kitab Tadzkir Al Maudhu’at (Abul Fadhl Muhammad bin Thahir ibnu Qaisaraani).
d. Kitab-kitab yang berkaitan dengan at targhib wattarhib : Kitab At Targhib wat Tarhib, Kitab ad Da’waat Al kabir (keduanya oleh Imam Al Baihaqi).
e. Kitab-kitab mustakhrajat : Mustakhraj Al Hafizh ibnu Marduyah (atas Shahih Bukhari), Mustakhraj Abu Nu’aim Al Ashbahani (terhadap Shahihain) dan lain-lain.
f. Kitab-kitab syarah hadits : At Tamhid (Ibnu Abdilbarr), Syarhus-Sunnah (Al Baghawi), Al Muntaqa –syarah Al- Muwaththa- (Abul Walid Al Baaji).
5. Dari abad VI dan VII :
a. Kitab-kitab maudhu’at : Al Abaathil wa Manakir (Al Husain Al Jauzaqani), Al Maudhu’at (Al hafizh Abul Faraj Ibnu Al Jauzi).
b. Kitab-kitab Ahkam : ‘Umdatul Ahkam (Abdulghani Al Maqdisi), Al Ahkam Al Kubra (Majduddin Abdussalam Ibnu Taimiyah), Al Ilmaam fi bayani Adilatil-ahkaam (Al izz abdissalam), Al Ilmaam fi Ahaadits-Ahkam (Ibnu Daqiq Al-Ied).
c. Kitab-kitab gharibul hadits : Gharibul hadits (Ibnul jauzi), An Nihayah fi Gharibil-hadits (Ibnu atsir Al Jazari).
d. Kitab-kitab athraaful hadits: Al Isyraaf ‘ala ma’rifatil Athraaf (Ibnu Asakir).
e. Kitab syarah hadits : Syarh Shahih Muslim (Ibnu Sholah), Al Minhaj fi Syarhi shahih Muslim Ibnil-Hajjaj (An Nawawi).
f. Kitab-kitab berkaitan dengan At Targhib wattarhib : At Targhib wattarhib (Al Mundziri), Riyaadhush Shalihin (An Nawawi).
6. Dari abad VIII dan XI
a. Kitab-kitab syarah hadits: Fathul Baari (Al hafizh Ibnu Hajar Al Asqalani).
b. Kitab-kitab takhrij : Nashbur Raayah li ahaaditsil hidaayah (Az Zaila’i), At Talkhish Al Habir (Al hafizh Ibnu hajar).
c. Kitab-kitab Jawaami’ : Jaami’ul masaanid (Ibnu Katsir).
d. Kitab-kitab Zawaaid : Kasyful Aatsaar ‘an Zawaa-id al Bazzar, Majma’uz- Zawaid wa Manba’ul-fawaaid, Mawariduzh zham’an ilaa Zawaa’id Ibnu Hibban dan sebagainya (Al Haitsami), Al Mathaalib al Aliyah fi Zawaa-id al Masaanid ats Tsamaniyah(Ibnu Hajar), Ithaaful Khiyarah al Maharah bizawaa-id Masaanis al ‘Asyarah (Al Buushiri) dan lain-lain.
e. Kitab-kitab Athraaf : Tuhfatul asyraaf bima’rifatil athraaf karya Al Hafizh Al Mizzi.
f. Kitab-kitab Ahkam: Al Muharrar fi ahadits-Ahkam (muhammad bin Ahmad Al Maqdisi), BulughurlMaram (Ibnu Hajar), Tharhut Tastrib fi Syarhit-Taqrib (Al-Iraq).
g. Kitab-kitab maudhu’at: Ahaaditsul-Qushshaash (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah).7. Dari abad IX hingga abad XIV:
a. Yang berkaitan dengan syarah hadits : Syarh Sunan An Nasaai (As Suyuthi), Mishbahuz-Zujajah Syarah Sunan Ibnu Majah (As Suyuthi), Nailul Authar Syarhu Muntaqa akhbar (Asy-Syaukani),Subulussalam Syarh Bulughul Maram (Ash Shan’ani), Al Faidhul Qadir (Al Munawi) dan sebagainya.
b. Yang berkaitan dengan Jawami’: Jam’ul Jawami’ dan Al Jami’ As Shagir (As Suyuthi), Kanzul ‘Ummaal (Alauddin Qadhi Khan Al Hindi).
c. Yang berkaitan dengan maudhu’at: Al La-ali Al Mashnu’ah (As Suyuthi), Al Fawaaid Al Majmu’ah (Asy Syaukani), Tanzih Asy Syari’ah Al Marfu’ah (Ibnu Arraq Al Kinani), Al Asrar al Marfu’ah ‘anil Ahadits al Maudhu’ah (Mula Ali Al Qari).
8. Dari abad XIV hingga kini.
a. Yang berkaitan dengan syarah hadits : ‘Aunul Ma’bud syarhu Sunan Abi Daud (Syamsul  Haq Azhim Abadi), Tuhfatul Ahwadzi syarah Jami’ At Tirmidzi (Al Mubarakfuri) dan lain-lain.
b. Yang berkaitan dengan takhrij hadits : Irwaa-ul Ghalil fi Takhrij Ahadits Manaarissabiil (Al Albani).
وصلى الله وسلم على نبينا محمد وعلى آله وصحبه أجمعين
Referensi: 1. Tadwin As Sunnah, Syaikhuna Prof Dr. Muhammad bin Mathar Az Zahrani.
2. As Sunnah qabla At-Tadwin, Dr. Muhammad Ajaj Al Khatib.
3. Buhuts fi tarikh As Sunnah Al Musyarrafah, Dr. Akram Dhiya Al Umari.
4. Al Wadh’u fil hadits, Dr. Umar bin Hasan Fallatah.
5. Ar Risalah Al Mustatharafah, Al Imam As Sayyid Muhammad bin Ja’far Al Kattani.
6. Tathawwur Diraasaat As Sunnah An Nabawiyah, Dr. Faruq Hamadah.
7. Bahtsun fi Tadwin As Sunnah An Nabawiyah Fi Al Qarnil Khamis Al Hijri,penulis.

Minggu, 16 November 2014

Dahsyatnya Suara Rasulullah SAW

Rasulullah SAW memang memiliki banyak mukjizat. Hampir semua mukjizat para Nabi berada pada diri Rasulullah SAW. Salah satu mukjizat Rasul adalah memiliki suara yang cukup dahsyat, bahkan suara Rasulullah SAW bisa di dengar dari jarak yang jauh sekali.
Pengeras suara juga tidak ada, namun kok bisa didengar oleh banyak manusia dari jarak yang cukup jauh suara Beliau itu, sungguh mukjizat yang tiada tara.


Dahsyatnya Suara Rasulullah SAW

 Banyak di antara mukjizat Nabi Muhammad SAW yang seringkali ditunjukkan kepada para sahabat. Salah satunya adalah mukjizat Rasulullah SAW yang memiliki suara yang merdu sekali, sehingga nyaman dan indah didengar oleh telinga.
Seperti halnya penuturan Anas ra dalam sebuah riwayatnya, Rasulullah SAW bersabda,
“Bahwa Allah tidak mengutus seorang Nabi melainkan bermuka tampan dan bersuara merdu. Sedangkan Nabimu adalah yang terbagus raut mukanya dan merdu suaranya,”
(HR. At-Tirmidzi).
Suara Rasulullah SAW ternyata tidak hanya merdu saja, namun juga memiliki kekuatan suara yang cukup dahsyat sehingga orang-orang jauh pun bisa mendengar suara beliau.
Banyak Riwayat yang Mengisahkan
Istri Beliau, Rasulullah SAW yang bernama Aisyah, pernah menceritakan bahwa pada suatu ketika, tepatnya pada hari Jumat, Rasulullah SAW sedang duduk di atas mimbar di masjid. Ketika itu Rasulullah SAW bersabda kepada para manusia,
“Duduklah kalian.”
Sabda Rasulullah yang demikian itu ternyata tidak hanya didengar oleh orang-orang yang berada di masjid itu saja, akan tetapi didengar pula oleh Abdullah bin Rawahah yang pada saat itu sedang berada di wilayah Bani Graham. Saat itu Abdullah bin Rawahah pun langsung duduk di tempat yang jaraknya cukup jauh dari masjid itu. Padahal saat itu belum ada pengeras suara seperti saat ini.
Dalam riwayat lainnya, Abdurrahman bin Mu’adz yang juga termasuk salah satu sahabat Rasulullah SAW menceritakan bahwa suatu ketika Rasulullah SAW sedang menceramahi para sahabat-sahabatnya di Mina.
Rasulullah SAW bersabda,
“Bawalah kerikil untuk melempar.”
Demikian ucap Rasulullah SAW ketika membimbing para sahabat untuk beribadah.
Sementara itu Abdurrahman sendiri ketika itu berada jauh dari Rasulullah SAW, namun ia bisa mendengar suara beliau ketika mengajari para sahabat tentang tata cara beribadah.
Tidak hanya itu, pada suatu ketika, Bara’ bercerita bahwa Rasulullah SAW pernah berceramah kepadanya dan para sahabat di sekelilingnya. Namun suara Rasulullah SAW ketika itu ternyata mampu didengar oleh para muslimah yang berada dalam kamar pingitan mereka.
Suara Dapat Didengar dari Jarak Cukup Jauh
Pengalaman lainnya juga diungkapkan oleh Ummu Hani. Ia menuturkan bahwa pada suatu malam ketika dirinya sedang membaringkan punggung di rumahnya. Suasana ketika itu cukup sepi, namun tiba-tiba ia mendengar suara Rasulullah SAW. Ummu Hani merasa heran, dari itu ia mencoba mencari-cari Rasulullah SAW di rumahnya. Namun ternyata Rasulullah SAW tidak ada di rumahnya saat itu.
Pada saat yang bersamaan, ternyata Rasulullah SAW ketika itu sedang berada di sisi Ka’bah. Sedangkan rumah Ummu Hani dan Ka’bah memiliki jarak yang cukup jauh sekali.
Ummu Hani menceritakan apa yang disabdakan Nabi adalah sebagai berikut.
Rasulullah SAW bersabda,
“Wahai orang-orang yang beriman, dengan lidahnya dan tak memurnikan keimanan dari hatinya, janganlah kalian memfitnah kaum muslimin dan janganlah kalian mencari-cari cacatnya. Dan barangsiapa yang cacatnya dicari-cari oleh Allah SWT, maka Dia akan membuka kejelekan di tengah rumahnya.”
Subhanallah…
Ucapan Rasulullah SAW tersebut mampu menembus dinding pembatas rumah-rumah para penduduk ketika itu. Sehingga banyak muslimah yang berada di dalam kamarnya juga mampu mendengar apa yang disabdakan oleh Rasulullah SAW tersebut, termasuk Ummu Hani. Padahal jarak mereka dengan Rasulullah SAW cukup jauh dan tidak ada pengeras suara.

Beribadah Yang Sempurna


     Ibadah bukanlah sekedar gerakan jasad yang terlihat oleh mata, namun juga harus menyertakan yang lain. Sebagaimana seseorang yang sedang melaksanakan sholat, ia tidak hanya bergerak untuk melaksanakan setiap rukun dan wajib sholat, tetapi juga harus menghadirkan hati sebagai ruh sholat tersebut. Bahkan jika seseorang menampakkan kekhusyukan badan dan hatinya kosong dan bermain-main maka ia terjatuh dalam kekhusyukan kemunafikan.
Beribadah Yang Sempurna
      Ketahuilah, bahwa ibadah seorang hamba harus dibangun oleh tiga pilar, dan ketiganya harus terkumpul seluruhnya dalam setiap muslim. Ibadah seseorang tidaklah akan benar dan sempurna kecuali dengan adanya pilar-pilar tersebut. Bahkan sebagian ulama mengatakannya sebagai ‘rukun ibadah’. Tiga hal itu adalah “cinta, takut dan harap”. Sehingga seorang salaf berkata, “Barang siapa beribadah kepada Alloh dengan cinta saja maka dia seorang zindiq, barang siapa beribadah hanya dengan khouf (takut) saja maka haruri (khowarij), barang siapa beribadah hanya dengan rasa harap saja maka dia seorang murji’ dan barang siapa yang beribadah dengan cinta, takut dan harap maka dia seorang mukmin.”
Cinta
     Cinta adalah rukun ibadah yang terpenting, karena cinta adalah pokok ibadah. Makna cinta tidak terbatas hanya kepada hubungan kasih antara dua insan semata, namun sesungguhnya makna dari cinta itu lebih luas dan dalam. Kecintaan yang paling agung dan mulia di dalam kehidupan kita ini adalah kecintaan kita kepada Alloh. Dimana jika seorang hamba mencintai Alloh, maka dia akan rela untuk melakukan seluruh hal yang diperintahkan dan menjauhi seluruh hal yang dilarang oleh yang dicintainya tersebut. Cinta kepada Alloh juga mengharuskan membenci segala sesuatu yang dibenci oleh Alloh. Sesungguhnya apabila ditanyakan kepada setiap muslim “Apakah anda mencintai Allah?” maka tentu dia akan menjawab “Tentu saja”.
   Namun pernyataan tanpa bukti tidaklah bermanfaat. Alloh tidak membutuhkan pernyataan belaka, Dia menginginkan agar kita membuktikan pernyataan kita “Aku cinta Alloh”. Oleh karena itulah, Alloh menguji setiap muslim dalam firman-Nya, “Katakanlah (wahai muhammad): Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu. Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Ali Imran: 31). Ya, bukti kecintaan kita kepada Alloh adalah dengan mengikuti Rasululloh dalam segala hal. Bahkan kecintaan kita terhadap beliau harus lebih dari kecintaan kita terhadap diri sendiri dan keluarga. Beliaulah teladan baik dalam aqidah, ibadah, akhlak, muamalah dan sebagainya. Alloh berfirman, “Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu (yaitu) bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan dia banyak menyebut Allah.” (Al Ahzab: 21)
    Maka jika kita mencintai Allah, mari kita buktikan dengan menjadikan Rasululloh sebagai panutan kita, bukan dengan menjadikan orang-orang kafir sebagai panutan, walaupun mereka itu populer dan terkenal seperti artis, selebritis dan semacamnya. Karena sesungguhnya Rosululloh bersabda “Seseorang itu akan bersama dengan orang yang dicintainya (di hari akhirat nanti).” (HR. Muslim). Dimana makna dari hadits ini adalah jika ketika di dunia kita mencintai orang-orang shaleh (seperti para rosul dan nabi) dan menjadikan mereka teladan, maka di akhirat nanti kita akan bersama mereka, dan sebaliknya jika ketika di dunia kita mencintai orang-orang kafir dan menjadikan mereka teladan, maka di akhirat nanti kita pun akan bersama mereka. Bukankah tempat mereka di akherat merupakan seburuk-buruk tempat. Duhai, betapa musibah yang sangat besar!
  Takut
     Pilar lainnya yang mesti ada dalam ibadah seorang muslim adalah rasa takut. Dimana dengan adanya rasa takut, seorang hamba akan termotivasi untuk rajin mencari ilmu dan beribadah kepada Alloh semata agar bebas dari murka dan adzab-Nya. Selain itu, rasa takut inilah yang juga dapat mencegah keinginan seseorang untuk berbuat maksiat. Alloh berfirman, “(Yaitu) orang-orang yang takut akan (azab) Tuhan mereka, sedang mereka tidak melihat-Nya, dan mereka merasa takut akan (tibanya) hari kiamat.” (Al Anbiya: 49)
     Rasa takut ada bermacam-macam, namun yang takutnya seorang muslim ialah takut akan pedihnya sakaratul maut, rasa takut akan adzab kubur, rasa takut terhadap siksa neraka, rasa takut akan mati dalam keadaan yang buruk (mati dalam keadaan sedang bermaksiat kepada Alloh), rasa takut akan hilangnya iman dan lain sebagainya. Rasa takut semacam inilah yang harus ada dalam hati seorang hamba.
Harap
     Pilar berikutnya yang harus ada dalam ibadah seorang hamba adalah rasa harap. Rasa harap yang dimaksud adalah antara lain harapan akan diterimanya amal kita, harapan akan dimasukkan surga, harapan untuk berjumpa dengan Alloh, harapan akan diampuni dosa, harapan untuk dijauhkan dari neraka, harapan diberikan kehidupan yang bahagia di dunia dan akhirat dan lain sebagainya. Rasa harap inilah yang dapat mendorong seseorang untuk tetap terus berusaha untuk taat, meskipun sesekali dia terjatuh ke dalam kemaksiatan namun dia tidak putus asa untuk terus berusaha sekuat tenaga untuk menjadi hamba yang taat. Karena dia berharap Alloh akan mengampuni dosanya yaitu dengan jalan bertaubat dari kesalahannya tersebut dan memperbanyak melakukan amal kebaikan. Sebagaimana firman Alloh “Wahai hamba-hamba-Ku yang malampaui batas terhadap diri mereka sendiri, janganlah kamu berputus asa dari rahmat Allah. Sesungguhnya Allah mengampuni dosa-dosa semuanya. Sesungguhnya Dia-lah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Az Zumar: 53)
    Harapan berbeda dengan angan-angan. Sebagai contoh orang yang berharap menjadi orang baik maka ia akan melakukan hal-hal yang merupakan ciri-ciri orang baik, sedangkan orang yang berkeinginan menjadi orang baik namun tidak berusaha untuk melakukan kebaikan maka orang-orang inilah yang tertipu oleh angan-angan dirinya sendiri.

Keutamaan Membaca Al-Quran

     Segala puji bagi Allah, yang telah menurunkan kepada hamba-Nya kitab Al-Qur’an sebagai penjelasan
atas segala sesuatu, petunjuk, rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang muslim. Semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah kepada hamba dan rasul-Nya Muhammad, yang diutus Allah sebagai rahmat bagi alam semesta.
Sesungguhnya Al Qur’an diturunkan tidak lain kecuali untuk suatu tujuan yang agung yaitu sebagai pelajaran dan hukum. Adapun pada saat ini, banyak manusia yang meninggalkan kitab yang agung ini, tidak mengenalnya kecuali hanya pada saat-saat tertentu saja. Diantara mereka ada yang hanya membaca saat ada kematian, diantara mereka ada yang hanya menjadikannya sebagai jimat dan diantara mereka ada yang hanya mengenalnya pada saat bulan Ramadhan saja.
Memang benar bahwa bulan Ramadhan adalah bulan Al Qur’an, kita dianjurkan agar memperbanyak membaca Al Qur’an pada bulan ini. Namun tidak sepantasnya seorang muslim berpaling dari kitab yang mulia ini di luar bulan Ramadhan karena Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menjanjikan keutamaan yang begitu banyak bagi para pembacanya meskipun di luar bulan Ramadhan.
Al-Qur’an diturunkan untuk dibaca oleh setiap orang muslim, direnungkan dan dipahami makna, perintah dan larangannya, kemudian diamalkan. Sehingga ia akan menjadi hujjah baginya di hadapan Tuhannya dan pemberi syafa’at baginya pada hari Kiamat. Allah telah menjamin bagi siapa yang membaca Al-Qur’an dan mengamalkan isi kandungannya tidak akan tersesat di dunia dan tidak celaka di akhirat, dengan firmanNya: “Maka barangsiapa yang mengikuti petunjuk-Ku, ia tidak akan sesat dan tidak akan celaka.” (Thaha:123)
Janganlah seorang muslim memalingkan diri dari membaca kitab Allah, merenungkan dan mengamalkan isi kandungannya. Allah telah mengancam orang-orang yang memalingkan diri darinya dengan firman-Nya: “Barangsiapa berpaling dari Al-Qur’an maka sesungguhnya ia akan memikul dosa yang besar di hari Kiamat” (Thaha : 100). “Dan barangsiapa berpaling dari peringatan-Ku, maka sesungguhnya baginya penghidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari Kiamat dalam keadaan buta.” (Thaha: 124)
Di antara keutamaan Al-Qur’an:
1. Firman Allah Ta ‘ala: “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Kitab (Al-Qur’an) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.” (An-Nahl: 89)
2. Firman Allah Ta’ala: “Sesungguhnya telah datang kepadamu cahaya dari Allah, dan kitab yang menerangkan. Dengan kitab itulah Allah menunjuki orang-orang yang mengikuti keridhaan-Nya ke jalan keselamatan, dan (dengan kitab itu pula) Allah mengeluarkan orang-orang itu dari gelap gulita kepada cahaya yang terang benderang dengan seizin-Nya dan menunjuki mereka ke jalan yang lurus.” (Al-Ma’idah: 15-16).
3. Firman Allah Ta ‘ala: “Hai manusia, sesungguhnya telah datang kepadamu pelajaran dari Tuhanmu dan penyembuh bagi penyakit-penyakit (yang berada) dalam dada dan petunjuk serta rahmat bagi ouang-orang yang beriman. ” (Yunus: 57).
4. Sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam: “Bacalah Al-Qur’an, karena ia akan datang pada hari Kiamat sebagai pemberi syafa ‘at bagi pembacanya.” (HR. Muslim dari Abu Umamah).
5. Dari An-Nawwas bin Sam’an radhiallahu ‘anhu, katanya: Aku mendengar Rasul shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Didatangkan pada hari Kiamat Al-Qur’an dan para pembacanya yang mereka itu dahulu mengamalkannya di dunia, dengan didahului oleh surat Al Baqarah dan Ali Imran yang membela pembaca kedua surat ini.” (HR, Muslim).
6. Dari Utsman bin Affan radhiallahu ‘anhu, katanya: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah orang yang mempelajari Al-Qur’an dan mengajarkannya.” (HR. Al-Bukhari)
7. Dari Ibnu Mas’ud radhiallahu ‘anhu, katanya: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa membaca satu huruf dari kitab Allah maka baginya satu kebaikan, dan satu kebaikan itu dibalas sepuluh kali lipatnya. Aku tidak mengatakan alif lam mim itu satu huruf; tetapi alif satu huruf; lam satu huruf dan mim satu huruf.” (HR. At-Tirmidzi, katanya: hadits hasan shahih).
8. Dari Abdullah bin Amr bin Al ‘Ash radhiallahu ‘anhuma, bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Dikatakan kepada pembaca Al-Qur’an: “Bacalah, naiklah dan bacalah dengan pelan sebagaimana yang telah kamu lakukan di dunia, karena kedudukanmu adalah pada akhir ayat yang kamu baca.” (HR. Abu Dawud dan At-Tirmidzi dengan mengatakan: hadits hasan shahih).
9. Dari Aisyah radhiallahu ‘anhu, katanya: Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Orang yang membaca Al-Qur’an dengan mahir adalah bersama para malaikat yang mulia lagi taat, sedangkan orang yang membaca Al-Quran dengan tergagap dan susah membacanya baginya dua pahala.” (Hadits Muttafaq ‘Alaih). Dua pahala, yakni pahala membaca dan pahala susah payahnya.
10. Dari Ibnu Umar radhiallahu ‘anhuma, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak boleh hasad (iri) kecuali dalam dua perkara, yaitu: orang yang dikaruniai Allah Al-Qur’an lalu diamalkannya pada waktu malam dan siang, dan orang yang dikaruniai Allah harta lalu diinfakkannya pada waktu malam dan siang”. (Hadits Muttafaq ‘Alaih). Yang dimaksud hasad di sini yaitu mengharapkan seperti apa yang dimiliki orang lain. (Lihat kitab Riyadhus Shaalihiin, hlm. 467-469).
Maka bersungguh-sungguhlah -semoga Allah menunjuki Anda kepada jalan yang diridhaiNya- untuk mempelajari Al-Qur’anul Karim dan membacanya dengan niat yang ikhlas untuk Allah Ta’ala. Bersungguh-sungguhlah untuk mempelajari maknanya dan mengamalkannya, agar mendapatkan apa yang dijanjikan Allah bagi para ahli Al-Qur’an berupa keutamaan yang besar, pahala yang banyak, derajat yang tinggi dan kenikmatan yang abadi. Para sahabat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dahulu jika mempelajari sepuluh ayat dari Al-Qur’an, mereka tidak melaluinya tanpa mempelajari makna dan cara pengamalannya.
Dan perlu Anda ketahui, bahwa membaca Al-Qur’an yang berguna bagi pembacanya, yaitu membaca disertai merenungkan dan memahami maknanya, perintah-perintahnya dan larangan-larangannya. Jika ia menjumpai ayat yang memerintahkan sesuatu maka ia pun mematuhi dan menjalankannya, atau menjumpai ayat yang melarang sesuatu maka iapun meninggalkan dan menjauhinya. Jika ia menjumpai ayat rahmat, ia memohon dan mengharap kepada Allah rahmat-Nya; atau menjumpai ayat adzab, ia berlindung kepada Allah dan takut akan siksa-Nya.
Al-Qur’an itu menjadi hujjah bagi orang yang merenungkan dan mengamalkannya; sedangkan yang tidak mengamalkan dan memanfaatkannya maka Al-Qur’an itu menjadi hujjah terhadap dirinya (mencelakainya).
Firman Allah Ta ‘ala: “lni adalah sebuah kitab yang Kami turunkan kepadamu penuh dengan berkah supaya mereka memperhatikan ayat-ayat-Nya dan supaya orang-orang yang mempunyai pikiran mendapatkan pelajaran. ” (Shad: 29).
Bulan Ramadhan memiliki kekhususan dengan Al-Qura’nul Karim, sebagaimana firman Allah: “Bulan Ramadhan, yang di dalamnya diturunkan permulaan Al-Qur’an … ” (Al-Baqarah: 185). Dan dalam hadits shahih dari Ibnu Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bertemu dengan Jibril pada bulan Ramadhan setiap malam untuk membacakan kepadanya Al-Qur’anul Karim. Hal itu menunjukkan dianjurkannya mempelajari Al-Qur’an pada bulan Ramadhan dan berkumpul untuk itu, juga membacakan Al-Qur’an kepada orang yang lebih hafal. Dan juga menunjukkan dianjurkannya memperbanyak bacaan Al-Qur’an pada bulan Ramadhan.
Tentang keutamaan berkumpul di masjid-masjid untuk mempelajari Al-Qur’anul Karim, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah berkumpul suatu kaum di salah satu rumah Allah seraya membaca kitab Allah dan mempelajarinya di antara mereka, kecuali turunlah ketenangan atas mereka, serta mereka diliputi rahmat, dikerumuni para malaikat dan disebut-sebut oleh Allah kepada para malaikat di hadapan-Nya.” (HR. Muslim).
Ada dua cara untuk mempelajari Al-Qur’anul Karim:
1. Membaca ayat yang dibaca sahabat Anda.
2. Membaca ayat sesudahnya. Namun cara pertama lebih baik.
Dalam hadits Ibnu Abbas di atas disebutkan pula mudarasah antara Nabi dan Jibril terjadi pada malam hari. Ini menunjukkan dianjurkannya banyak-banyak membaca Al-Qur’an di bulan Ramadhan pada malam hari, karena malam merupakan waktu berhentinya segala kesibukan, kembali terkumpulnya semangat dan bertemunya hati dan lisan untuk merenungkan. Seperti dinyatakan dalam firman Allah: “Sesungguhnya bangun di waktu malam adalah lebih tepat (untuk khusyu’), dan bacaan di waktu itu lebih berkesan.” (Al-Muzzammil: 6).
Disunatkan membaca Al-Qur’an dalam kondisi sesempurna mungkin, yakni dengan bersuci, menghadap kiblat, mencari waktu-waktu yang paling utama seperti malam, setelah maghrib dan setelah fajar. Boleh membaca sambil berdiri, duduk, tidur, berjalan dan menaiki kendaraan. Berdasarkan firman Allah: “(Yaitu) orang-orang yang dzikir kedada Allah sambil berdiri, atau duduk, atau dalam keadaan berbaring…” (Ali Imran: 191). Sedangkan Al-Qur’anul Karim merupakan dzikir yang paling agung.
Kadar bacaan yang disunatkan
Disunatkan mengkhatamkan Al-Qur’an setiap minggu, dengan setiap hari’ membaca sepertujuh dari Al-Qur’an dengan melihat mushaf, karena melihat mushaf merupakan ibadah. Juga mengkhatamkannya kurang dari seminggu pada waktu-waktu yang mulia dan di tempat-tempat yang mulia, seperti: Ramadhan, Dua Tanah Suci dan sepuluh hari Dzul Hijjah karena memanfaatkan waktu dan tempat. Jika membaca Al-Qur’an khatam dalam setiap tiga hari pun baik, berdasarkan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada Abdullah bin Amr: “Bacalah Al-Qur’an itu dalam setiap tiga hari” (Lihat kitab Fadhaa’ilul qur’an, oleh Ibnu Katsir, him. 169-172 dan Haasyiatu Muqaddimatit Tafsiir, oleh Ibnu Qaasim, hlm. 107.)
Dan makruh menunda khatam Al-Qur’an lebih dari empat puluh hari, bila hal tersebut dikhawatirkan membuatnya lupa. Imam Ahmad berkata : “Betapa berat beban Al-Qur’an itu bagi orang yang menghafalnya kemudian melupakannya.”
Dilarang bagi yang berhadats kecil maupun besar menyentuh mushaf, dasarnya firman Allah Ta’ala: “Tidak menyentuhnya kecuali hamba-hamba yang disucikan.” (Al-Waqi’ah: 79). Dan sabda Nabi shallallahu ‘alaihi wassallam: “Tidak dibenarkan menyentuh Al-Qur’an ini kecuali orang yang suci.” (HR. Malik dalam Al-Muwaththa, Ad-Daruquthni dan lainnya)”. Hal ini diperkuat hadits Hakim bin Hizam yang lafazhnya: “Jangan menyentuh Al-qur’an kecuali jika kamu suci.” (HR. Ath-Thabrani dan Al-Hakim dengan menyatakannya shahih).
Al-Qur’anul Karim syari’at sempurna:
Asy-Syathibi dalam kitab Al-Muwaafaqaat mengatakan : “Sudah menjadi kesepakatan bahwa kitab yang mulia ini adalah syari’at yang sempurna, sendi agama, sumber hikmah, bukti kerasulan, cahaya penglihatan dan hujjah. Tiada jalan menuju Allah selainnya, tiada keselamatan kecuali dengannya dan tidak ada yang dapat dijadikan pegangan sesuatu yang menyelisihinya. Kalau demikian halnya, mau tidak mau bagi siapa yang hendak mengetahui keuniversalan syariat, berkeinginan mengenal tujuan-tujuannya serta mengikuti jejak para ahlinya harus menjadikannya sebagai kawan bercakap dan teman duduknya sepanjang siang dan malam dalam teori dan praktek; maka dekat waktunya ia mencapai tujuan dan menggapai cita-cita serta mendapati dirinya termasuk orang-orang pendahulu, dan dalam rombongan pertama jika ia mampu. Dan tidaklah mampu atas hal itu kecuali orang yang senantiasa menggunakan apa yang dapat membantunya, yaitu sunnah yang menjelaskan kitab ini. Selainnya, adalah ucapan para imam terkemuka dan salaf pendahulu yang dapat membimbingnya dalam tujuan yang mulia ini.” ( Lihat AI Muwafaqaat, oleh Asy-Syathibi, 31224.)
Hukum melagukan Al-Qur’an :
Pembaca dan pendengar Al-Qur’an yang hatinya disibukkan dengan lagu dan sejenisnya -yang dapat mengakibatkan perubahan firman Allah, padahal kita diperintahkan untuk memperhatikannya sebenamya menghalangi hatinya dari apa yang dikehendaki Allah dalam kitab-Nya, memutuskannya dari pemahaman firman-Nya. Mahasuci firman Allah dari hal itu semua. Imam Ahmad melarang talhin dalam membaca Al-Qur’an, yaitu yang menyerupai lagu, beliau berkata : “Itu bid’ah.
Ibnu Katsir rahimahullah dalam Fadhaailul Qur’an mengatakan: “Sasaran yang diminta menurut syara’ tiada lain yaitu memperindah suara yang dapat mendorong untuk merenungkan dan memahami Al-Qur’an yang mulia dengan khusyu’, tunduk, dan patuh penuh ketaatan. Adapun suara-suara dengan lagu yang diada-adakan yang terdiri atas nada dan irama yang melalaikan, serta aturan musikal, maka Al-Qur’an adalah suci; dari hal ini dan tak layak jika dalam. Membacanya diperlakukan demikian.” (Lihat kitab Fadhaa’ilul qur’an, oleh Ibnu Katsir, him. 125-126.)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan: “Irama-irama yang dilarang para ulama untuk membaca Al-Qur’an yaitu yang dapat memendekkan huruf yang panjang, memanjangkan yang pendek, menghidupkan huruf yang mati dan mematikan yang hidup. Mereka lakukan hal itu supaya sesuai dengan irama lagu-lagu yang merdu. Jika hal itu dapat mengubah aturan Al-Qur’an dan menjadikan harakat sebagai huruf, maka haram hukumnya. (Lihat Haasyiatu Muqaddimatit Tafsiir, oleh Ibnu Qaasim, hlm. 107.)

Jenazah Dilindungi Sayap Malaikat

     Tak dapat diketahui secara pasti kelahiran Abdullah bin Amru bin Harram. Abdullah bin Amru ini termasuk golongan 70 orang yang ikut dalam pembaiatan Rasulullah SAW di Aqobah Kedua. Ia juga dipercaya sebagai salah satu ketua dari 12 ketua yang ikut dalam pembaiatan Rasulullah.
Selama hidupnya bersama Rasululah SAW, ia ikut perang Badar dan maju ke medan perang seperti pahlawan yang penuh keberanian.
Sebelum pergi ke medan perang UHUD pada tahun ke 3 Hijriyah, ia berkata,
“Aku tidak ingin melihat aku terbunuh di perang ini tapi aku berharap menjadi orang pertama yang mati syahid diantara orang-orang muslim.”
Perang Uhud.
Diantara peperangan yang diikuti adalah Perang Badar dan Uhud.
Pada waktu perang Uhud, anaknya yang bernama Jabir bin Abdullah bercerita bahwa pada suatu malam ayahnya memanggil dirinya pada waktu hendak di mulai perang Uhud. Ayahnys berkata,
“Rasanya sayalah yang akan terbunuh diantara para sahabat dalam perang ini. Semoga saya orang pertama yang mati syahid. Demi Allah, tidak ada seorang pun yang lebih saya cintai setelah Rasulullah SAW melainkan dirimu. Saya mempunyai hutang, maka kelak kalau saya wafat bayarlah hutangku dan berilah nasehat kepada saudaramu yang lain.”
Keesokan harinya, umat islam keluar rumah untuk menghadapi kaum kafir Quraisy. Mereka datang dengan tentara yang tidak sedikit.
Terjadilah peperangan yang sangat hebat. Namun para pemanah melanggar perintah Rasululah SAW agar tetap berjaga di tempatnya. Rasul ini merupakan seorang pemimpin perang yang sangat-sangat ulung.
Pada saat pasukan pemanah tidak mematuhi perintah Rasulullah SAW, maka pasukan kafir Quraisy menggempur habis-habisan sehingga umat islam dapat dikalahkan. Di antara pahlawan umat islam yang gugur dalam perang itu adalah Abdullah bin Amru.
Malaikat Hadir.
Setelah selesai berperang, umat islam mengumpulkan pasukannya yang telah wafat.
Jabir pun ikut mencari di mana ayahnya. Setelah itu, akhirnya Jabir menjumpai mayat ayahnya yang sudah tidak bernyawa lagi.
Dalam perang itu, Abdullah bin Amru gugur sebagai Syuhada. Rasulullah SAW ikut belasungkawa sekaligus bangga terhadap Abu Jabir hingga beliau bertakziah ke keluarga Abdullah bin Amru.
Pada waktu Rasulullah SAW melihat Jabir dan keluarganya sedang menangis, Rasul bersabda,
“Kalian menangis atau tidak menangis, para malaikat akan melindunginya dengan saya-sayapnya.”
Subhanallah…
Pastilah benar dan sungguh benar setiap kata yang diucapkan oleh Rasulullah SAW.
Setiap kata yang diucapkan tak ada dusta sama sekali, hingga terciptalah judul postingan ini.
Setelah mendengar penuturan Rasululah SAW itu, keluarga Abdullah bin Amru bertambah pasrah dan ikhlas.
Pada suatu hari Rasulullah SAW bersabda,
“Wahai Jabir, Allah tidak pernah berbicara kepada seseorang melainkan di balik tabir. Dan Allah SWT berbicara dengan ayahmu secara langsung.”
Makam Baqi’
Suatu saat Rasul juga pernah menceritakan bahwa ada keinginan yang kuat dari ayahnya Jabir ini untuk berjuang membela agama Allah SWT.
Abdullah binAmru pernah berdoa,
“Ya Allah, berikanlah keturunanku nikmat yang engkau berikan padaku.”
Rasulullah SAW memerintahkan untuk menguburkan jenazah Abdullah bin Amru bin Harram di kuburan Baqi bersama Amru bin Al-Jumuh dalam satu kuburan.
Sebab keduanya adalah teman akrab yang saling mencintai di jalan Allah SWT selama hidupnya.

Dia Jujur Sekalipun Dia Pembohong

     Abu Hurairah ra., berkata, “Rasulullah SAW menyerahkan kepadaku penjagaan dan pengawasan zakat (Baitul Maal) di bulan Ramadhan.  Pada saat menjelang subuh, datang seseorang untuk mencuri makanan, kemudian aku tangkap dan aku berkata kepadanya, “Sungguh aku akan melaporkan engkau kepada Rasulullah SAW.” Kemudian pencuri itu berkata, “Lepaskan aku, sungguh aku berbuat demikian, karena aku dan keluargaku sangat membutuhkan makanan ini.” Abu Hurairah merasa iba hatinya dan kemudian pencuri itu dilepaskannya.
     Pagi harinya Rasulullah SAW datang dan Abu Hurairah menceritakan tentang kejadian semalam, “Wahai Abu Hurairah, apa yang dikerjakan tawanan itu semalam?” tanya Rasulullah kepada Abu Hurairah.  “Ya.. Rasulullah, dia mengadu bahwa keluarganya sangat membutuhkan makanan, sehingga aku merasa kasihan padanya dan kemudian aku melepaskannya.”  “Ketahuilah, Abu Hurairah, sesungguhnya dia berbuat kebohongan padamu dan dia akan kembali lagi.” ujar Rasulullah SAW kepada Abu Hurairah.
     Mendengar jawaban tegas dari Rasulullah SAW itu, Abu Hurairah percaya dan dia pun siap menanti kedatangan pencuri itu.  Ternyata benar, pencuri itu datang lagi untuk mengambil makanan. Dan untuk yang kedua kalinya Abu Hurairah menangkap orang itu seraya berkata kepadanya, “Sungguh, sekarang aku akan melaporkan engkau kepada Rasulullah SAW.”  Kembali pencuri itu berkata, “Jangan, jangan.., lepaskan aku dan aku berjanji tidak akan datang lagi selamanya.  Ketahuilah bahwa aku mencuri karena aku punya banyak kebutuhan, aku punya keluarga dan anak yang sangat membutuhkan itu semua.”  Mendengar keluh pencuri itu pun hati Abu Hurairah tidak tega dan dengan menyatakan tidak akan mencuri lagi, maka pencuri itupun dilepaskannya.
     Seperti biasa pagi harinya, Rasulullah SAW datang untuk mengontrol dan bertanya kepada Abu Hurairah, “Bagaimana cerita semalam tentang pencuri itu wahai Abu Hurairah..?” Abu Hurairah menjawab, “Wahai Rasulullah, dia tetap mengadukan tentang kebutuhan keluarganya dan dia berjanji tidak akan kembali lagi.  Aku sangat iba kepadanya, maka aku melepaskannya lagi.”  Rasulullah SAW tersenyum kemudian berkata, “Sesungguhnya dia telah berbohong kepadamu, namun dia akan kembali lagi.”
     Abu Hurairah pun merasa bingung dan untuk kali ini dia akan berusaha untuk hati-hati dalam memutuskan sesuatu, tapi tetap ada perasaan bahwa pencuri itu akan kembali lagi dengan adanya keterangan dari Rasulullah.
     Malam berikutnya, dengan rasa penasaran Abu Hurairah menanti datangnya pencuri itu.  Ternyata benar, pencuri itu datang lagi dan Abu Hurairah kembali menangkapnya, “Sungguh kali ini aku harus melaporkan kepada Rasulullah, sebab sudah tiga kali engkau mencuri dan engkau juga berjanji tidak akan kembali lagi, namun kenyataannya engkau kembali lagi.”  Pencuri itu berkata, “Lepaskan aku.. wahai Abu Hurairah, sebagai imbalannya akan kuajarkan kepadamu beberapa kalimat yang Allah akan memberikan manfaat kepadamu.”
     “Kalimat apakah itu?” tanya Abu Hurairah.  “Bila engkau akan tidur dan telah meletakkan badan di tempat tidur, maka bacalah Ayat Kursi sampai selesai.  Sesungguhnya Allah akan menjagamu dan setan tidak akan mendekat padamu sampai pagi” jawab pencuri itu.  Abu Hurairah terpesona dengan ajaran pencuri itu kemudian kembali dia melepaskannya.
     Pagi harinya sebelum Rasulullah Muhammad SAW datang, Abu Hurairah mendatangi beliau, kemudian Rasulullah pun berkata, “Apa yang dilakukan oleh tawanan itu semalam?” Abu Hurairah menjawab, “Dia mengajarkan beberapa kalimat yang Allah akan memberikan manfaat kepadaku, lalu aku lepaskan dia.”  “Kalimat apakah itu?” tanya Rasulullah selanjutnya.  “Wahai Rasulullah, tawanan itu berkata kepadaku, agar aku membaca Ayat Kursi apabila akan tidur.” jawab Abu Hurairah.
“Ingat..! Sesungguhnya dia kali ini jujur kepadamu, sekalipun dia pembohong. Sekarang wahai Abu Hurairah, apakah engkau tahu siapa yang engkau ajak berbicara sejak tiga malam itu?” tanya Rasulullah SAW, dan Abu Hurairah pun menjawab, “Aku tidak tahu dan tidak mengenal dia wahai Rasulullah.”  Kemudian Rasulullah SAW menjelaskan, “Ketahuilah Abu Hurairah, bahwa dia adalah Setan.”
     Hadits ini diriwayatkan kembali oleh Bukhari – Muslim, dan satu pelajaran yang dapat diambil dari padanya bahwa, apabila setan mengajarkan apa saja kepada kita dan membujuk dengan tipu daya, maka jangan kita terima, sebab setan itu musuh manusia yang nyata, kecuali apa yang telah diterangkan Rasulullah SAW dalam hadits di atas.
     Jika Rasulullah SAW menyatakan bahwa kali ini setan itu jujur walau dia pembohong, maka ikuti saja apa yang telah Rasul nyatakan, tapi jika yang menyatakan bukan Rasulullah SAW, maka janganlah kita percaya, sebab setan itu musuh.  Alhamdulillah, semoga kita selalu mendapat rahmat Allah SWT sehingga selalu terhindar dari bujuk rayu setan.